Susunan sepatu, sandal dan sol yang terkesan tidak rapih
memenuhi gerobak kecil milik Mahfud. Gerobak dorong itu dilengkapi dengan tiang
penyangga khusus payung untuk menghindarkan Mahfud dari panas dan hujan. Pria asal Garut itu sudah menjalani profesi
sebagai tukang sol sepatu sejak tahun 77 di daerah Depok Timur. Sempat awal
sebelum memutuskan sebagai tukang sol, ia menjual sandal keliling. Keputusan
perubahan diambil karena semakin banyak competitor dan berkembangnya industri
sepatu dan sandal yang memberi pilihan bagi konsumennya untuk mencari yang
lain.
Satu Sabtu sore kebetulan Mahfud melintas depan rumah dan
seketika itu juga saya panggil untuk memperbaiki sepatu yang sudah menganga di
bagian sol. Setelah sepakat dengan harga, maka sepatu Caterpillar yang saya
beli di Mustafa sekitar empat tahun lalu mulai dikerjakan. Sepatu ini sengaja
saya beli karena tidak puas dengan sepatu yang dijual kebanyakan dengan harga
murah tapi saya harus ganti tiap tiga bulan. Entah solnya cepat tipis,
jahitannya yang mudah lepas, bahkan lobang. Kalau dihitung saya harus keluarkan
anggaran lebih. Misalnya saya harus beli sepatu di departemen store seharga
seratus ribu, kalau sepatu rusak dalam tiga bulan, maka saya harus anggarkan
empat ratus ribu per tahun. Bagi saya itu akan lebih mahal disbanding dengan
beli sepatu empat tahun sekali meski ketinggalan model. Entah karena kualitas
sepatu tidak baik atau beban tubuh saya yang berat sehingga sepatu tidak mampu
tahan lama.
Mahfud dengan lincah memainkan pisau untuk mengiris bagian
yang akan dijahit. Bangku pendek yang selalu perlengkapan yang selalu dibawa
dalam gerobak. Pria berumur 55 tahun ini tinggal di Depok menempati sebidang
kamar yang sempit, sedangkan istri dan ketujuh anaknya di Garut.
“Pak, tidak sering pulang ke Garut?” tanyaku
“Jarang Jang, paling dua bulan sekali”, jawabnya dengan
logat Sunda yang kental. Pantas
saja pria yang saya perkirakan usianya
lebih setengah abad ini memang saja dengan sapaan ujang, sebagai sapaan
kepada anak laki-laki.
“Ujang kerja PNS ya?” tanyanya
“ Ah tidak Pak”
“Trus, kalau kangen keluarga bagaimana Pak?”
“Kalau Kangen mah pulang, tapi kadang banyak kerjaan.
Pasiennya banyak!!”
“Mulai sepatu yang merek Eropa sampai bikinan Cibaduyut,
Bapak pernah perbaiki”, katanya ayah yang menyimpan foto anak pertamanya di
dalam gerobak.
“Ini juga ada dagangan sepatu kulit asli buatan Itali seken
pesenan orang, ada juga tuh tas kulit ular, asli Jang” ujarnya setengah
promosi.
Memang Mahfud ini lumayan ramai pelanggannya, mulai melayani
jasa perbaikan sepatu, ia juga perbaiki tas. Tidak kurang dari 3 orang pada
saat itu datang untuk perbaiki sepatu. Bahkan tak jarang dia jual sepatu seken
dengan kualitas bagus. Ia bisa mendapatkan sepatu dan sandal bermerek berbahan
kulit.
“Sehari bisa bawa pulang uang berapa Pak?” tanyaku
“Tergantung Jang, sekarang ini bisa cepet cari duit, tapi
cepet juga habisnya. Sekarang mah nggak ada yang murah”
“Paling enak jaman sebelum reformasi, semua masih murah.
Sekarang saya paling tidak harus kirim uang ke kampung dua juta tiap sepuluh
hari”
Wow, nilai yang fantastis. Meskipun saya juga tidak berani memastikan bahwa oria ini sebagai orang yang tidak setuju gerakan reformasi, tapi yang mungkin lebih tepat sebagai salah satu dari sebagian banyak pihak yang tidak menikmati lesatnya gerakan reformasi secara ekonomis. Seandainya benar tiap sepuluh
hari harus kirim uang ke kampung dua juta, maka paling tidak penghasilan Mahfud
diatas enam juta perbulan. Kalau total anggota keluarga sembilan orang dikali
dua dolar dengan kurs sepuluh ribu kali 30 hari, maka kebutuhan sebulan
5,400,000. Sedangkan penghasilannya 6,000,000 lebih, apakah ini yang dikatakan
orang miskin berkurang?
Tunggu dulu, belum lagi kalau ada kebutuhan untuk kesehatan,
sekolah, uang saku anak, dan kalau ada kerabat yang punya hajatan tentu harus
sumbang. Entah kurang atau tidak, yang jelas pak Mahfus bisa bertahan hidup. Sah-sah
saja kalau pria yang gemar bertopi ala koboi ini mersa lebih enak di jaman
sebelum reformasi di mana semua harga masih murah. Tak heran memang di jaman
yang serba bebas ini, semua yang berbau komoditas bisa dibandrol harga
bergantung penjual, bukan hanya bergatung kepada permintaan konsumen.
“Jang, banyak sedikit harus disyukuri, asal kerha yang
halal, ibadah yang tekun, kerja yang keras”, ujarmya seoalah memberi petuah pada
anaknya. Saya tidak merasa ada yang salah, toh belajar bisa dengan siapa saja.
Langit mulai gelap, setelah titip sebentar gerobaknya untuk sholat magrib,
Pak Mahfud melanjutkan perjalan, entah pulang atau masih keliling melanjutkan
pekerjaan”
No comments:
Post a Comment