Sunday, October 21, 2012

The Way How to Survive: Menggantungkan Hidup di Ujung Jarum, Pisau dan Lem.

Susunan sepatu, sandal dan sol yang terkesan tidak rapih memenuhi gerobak kecil milik Mahfud. Gerobak dorong itu dilengkapi dengan tiang penyangga khusus payung untuk menghindarkan Mahfud dari panas dan hujan.  Pria asal Garut itu sudah menjalani profesi sebagai tukang sol sepatu sejak tahun 77 di daerah Depok Timur. Sempat awal sebelum memutuskan sebagai tukang sol, ia menjual sandal keliling. Keputusan perubahan diambil karena semakin banyak competitor dan berkembangnya industri sepatu dan sandal yang memberi pilihan bagi konsumennya untuk mencari yang lain.

Satu Sabtu sore kebetulan Mahfud melintas depan rumah dan seketika itu juga saya panggil untuk memperbaiki sepatu yang sudah menganga di bagian sol. Setelah sepakat dengan harga, maka sepatu Caterpillar yang saya beli di Mustafa sekitar empat tahun lalu mulai dikerjakan. Sepatu ini sengaja saya beli karena tidak puas dengan sepatu yang dijual kebanyakan dengan harga murah tapi saya harus ganti tiap tiga bulan. Entah solnya cepat tipis, jahitannya yang mudah lepas, bahkan lobang. Kalau dihitung saya harus keluarkan anggaran lebih. Misalnya saya harus beli sepatu di departemen store seharga seratus ribu, kalau sepatu rusak dalam tiga bulan, maka saya harus anggarkan empat ratus ribu per tahun. Bagi saya itu akan lebih mahal disbanding dengan beli sepatu empat tahun sekali meski ketinggalan model.  Entah karena kualitas sepatu tidak baik atau beban tubuh saya yang berat sehingga sepatu tidak mampu tahan lama.

Mahfud dengan lincah memainkan pisau untuk mengiris bagian yang akan dijahit. Bangku pendek yang selalu perlengkapan yang selalu dibawa dalam gerobak. Pria berumur 55 tahun ini tinggal di Depok menempati sebidang kamar yang sempit, sedangkan istri dan ketujuh anaknya di Garut.

“Pak, tidak sering pulang ke Garut?” tanyaku

“Jarang Jang, paling dua bulan sekali”, jawabnya dengan logat Sunda yang kental. Pantas saja pria yang saya perkirakan usianya  lebih setengah abad ini memang saja dengan sapaan ujang, sebagai sapaan kepada anak laki-laki.

“Ujang kerja PNS ya?” tanyanya

“ Ah tidak Pak”

“Trus, kalau kangen keluarga bagaimana Pak?”

“Kalau Kangen mah pulang, tapi kadang banyak kerjaan. Pasiennya banyak!!”

“Mulai sepatu yang merek Eropa sampai bikinan Cibaduyut, Bapak pernah perbaiki”, katanya ayah yang menyimpan foto anak pertamanya di dalam gerobak.

“Ini juga ada dagangan sepatu kulit asli buatan Itali seken pesenan orang, ada juga tuh tas kulit ular, asli Jang” ujarnya setengah promosi.

Memang Mahfud ini lumayan ramai pelanggannya, mulai melayani jasa perbaikan sepatu, ia juga perbaiki tas. Tidak kurang dari 3 orang pada saat itu datang untuk perbaiki sepatu. Bahkan tak jarang dia jual sepatu seken dengan kualitas bagus. Ia bisa mendapatkan sepatu dan sandal bermerek berbahan kulit.

“Sehari bisa bawa pulang uang berapa Pak?” tanyaku

“Tergantung Jang, sekarang ini bisa cepet cari duit, tapi cepet juga habisnya. Sekarang mah nggak ada yang murah”

“Paling enak jaman sebelum reformasi, semua masih murah. Sekarang saya paling tidak harus kirim uang ke kampung dua juta tiap sepuluh hari”

Wow, nilai yang fantastis. Meskipun saya juga tidak berani memastikan bahwa oria ini sebagai orang yang tidak setuju gerakan reformasi, tapi yang mungkin lebih tepat sebagai salah satu dari sebagian banyak pihak yang tidak menikmati lesatnya gerakan reformasi secara ekonomis. Seandainya benar tiap sepuluh hari harus kirim uang ke kampung dua juta, maka paling tidak penghasilan Mahfud diatas enam juta perbulan. Kalau total anggota keluarga sembilan orang dikali dua dolar dengan kurs sepuluh ribu kali 30 hari, maka kebutuhan sebulan 5,400,000. Sedangkan penghasilannya 6,000,000 lebih, apakah ini yang dikatakan orang miskin berkurang?

Tunggu dulu, belum lagi kalau ada kebutuhan untuk kesehatan, sekolah, uang saku anak, dan kalau ada kerabat yang punya hajatan tentu harus sumbang. Entah kurang atau tidak, yang jelas pak Mahfus bisa bertahan hidup. Sah-sah saja kalau pria yang gemar bertopi ala koboi ini mersa lebih enak di jaman sebelum reformasi di mana semua harga masih murah. Tak heran memang di jaman yang serba bebas ini, semua yang berbau komoditas bisa dibandrol harga bergantung penjual, bukan hanya bergatung kepada permintaan konsumen.

“Jang, banyak sedikit harus disyukuri, asal kerha yang halal, ibadah yang tekun, kerja yang keras”, ujarmya seoalah memberi petuah pada anaknya. Saya tidak merasa ada yang salah, toh belajar bisa dengan siapa saja. Langit mulai gelap, setelah titip sebentar gerobaknya untuk sholat magrib, Pak Mahfud melanjutkan perjalan, entah pulang atau masih keliling melanjutkan pekerjaan”

No comments:

Post a Comment