Tuesday, August 6, 2013

Love is all, it gives all, and it takes all.




Sore itu langit Jatinegara tersaput awan, membuat sore teriring sejuk di pertengahan ramadhan ini. Membuat perjalanan ke rumah sakit ini menjadi lebih nyaman untuk temui seorang kawan. Salah satu bangku dari empat bangku yang mengapit meja saji sebuah kantin di lantai dua rumah sakit ibu dan anak di bilangan jatinegara duduk pria seusia dengan saya. Di atas meja cangkir berisi teh yang tinggal setengah, tas wanita yang menandakan dia tidak sendiri dan laptop yang aktif. Guratan wajah lelah dan kurang tidur nampak dari sosok ini. Sebut saja laki-laki ini sebagai Marhein, mirip memang namanya dengan anak saya Jeyson Marheins Prasetyo. Setelah berjabat tangan, saya disilakan duduk dan menjawab pertanyaan pembuka tentang kabarku yang disampaikannya.

“jadi sekarang kondisi anak gimana Mas?”, tanya saya

“sekarang sudah lebih bagus dari sebelumnya, sudah gerakkan tangan”, sahutnya

“sakitnya adik apa sih?” tanya saya ingin tahu

“istilahnya MSUD, jadi sistem dalam tubuhnya jadi terganggu, gak normal kadar keasaman darahnya tinggi”

“perawatannya gimana Mas?”

“ini masih masih harus lewati pemulihan sampai harus keluar RS”, urai Marhen

“Mmmmm” gumamku sambil berusaha menahan rasa ingin tahu.

Beralasan aku tidak tanya lebih banyak. Hari itu adalah hari ke 16 bagi Janisa dirawat di  Neonatal Intensive Care Unit – NICU sebagai ruang khusus perawatan bagi anak yang baru lahir. Tentu banyak kerabat dan handai taulan datang menjenguk, menanyakan kabar dan membutuhkan penjelasan. Saya tidak mau menjadi beban lagi di tengah raut lelahnya bersama istri menemani adik dengan pertanyaan yang sama.

MSUD akronim dari Maple Syrup Urine Disease. Menurut The MSUD Family Support Group , MSUD adalah gangguan metabolik yang diwariskan. MSUD bisa akibatkan keterbelakangan mental, cacat fisik, dan kematian. Gejala gangguan tersebut pada tahun 1954 bisa terjadi pada etnis apa saja dengan perbandingan 1 kasus pada 225.000 kelahiran.

Hasil diagnosa di Australia, ditemukan Janisa yang belum genap berusia satu bulan ini secara metabolisme tidak maksimal mengolah protein dalam tubuh. Lho, bukannya sumber makanan bayi hanya lewat susu dan itu mengandung protein. Saya teringat pada kisah supir taxi yang bercerita bahwa dua keponakannya di daerah Malang Selatan meregang nyawa karena minum ASI Eksklusif. Kemudian anak ketiga tidak minum ASI. Saya sempat sulit masuk diakal ASI bisa membuat anak mati. Baru sadar saja kalau saat saya menulis ini bertepatan dengan Bulan ASI Nasional.

Apa itu hal yang sama terjadi dengan Janisa? Disfungsi protein sebagai enzim untuk katalisator metabolisme mengakibatkan keasaman darah menjadi tinggi berdampak pada kinerja liver dan organ lainnya yang membuatnya terlelap. Hingga akhirnya harus dirawat dalam ruang khusus dibawah pengawasan Dr. dr. DamayantiRusli Sjarif, Sp.A(K). Tubuh mungil sesekali mengangkat tangan hanya bisa kulihat dari balik dinding kaca ditempeli selang dan entah apa lagi yang menghubungkan dengan sebuah kaca monitor untuk memantau kondisi tiap waktu. Asupan makanan diperoleh dari susu khusus yang didatangkan dari Inggris.

Janisa anak kedua dari pasangan ini. Kalau ini sebuah hasil warisan ada kemungkinan sang Kakak atau orang tuanya memiliki kecenderungan seperti itu. Perlu dilakukan observasi untuk antisipasi. Tapi ini sepertinya bukan saat yang tepat untuk bertanya, atau bahkan tepatnya menggurui. Ibaratnya sudah teriris harus tersundut api. Tidak mau menjadi beban lagi. Secara fisik jelas lelah menunggu di rumah sakit. Biasa tidur di kasur dan meluruskan badan tapi harus menunggu di sebuah sofa atau meja kantin seperti saat kami bertemu.

Ibaratnya seperti standar keamanan penerbangan jika mengalami gangguan penerbangan dan harus mengenakan alat pernafasan, yang tua harus pakai dulu baru kemudian anak kecil. Tujuannya agar orang tua bisa menolong anak. Demikian juga pasangan yang sedang berjuang hadapi realitas ini juga akhirnya mengambil sebuah kamar kost di sekitar rumah sakit untuk sekadar meluruskan badan atau membersihkan badan mengingat rumah mereka jauh. Perawatan di NICU memang dalam pengawasan ketat tenaga medis dan memungkin orang tua meninggalkan rumah sakit. Jika ada yang penting dan membutuhkan persetujuan tindakan bisa di telepon dan datang. Saya bisa pahami jika alasannya lintasi jalanan Jakarta dengan cepat tidak berbanding lurus dengan kebutuhan penanganan.

Saya hanya bisa menduga 16 hari di NICU kelelahan lain juga akibat memikirkan kantong yang harus dirogoh dalam. Saya sempat yanya berapa satu hari di NICU. “Sekitar 6 jutaan kalau tidak ada tindakan, pernah tembus belasan Mas” kata Marhen. Jadi bisa dikalikan sendiri dalam batinku.  Bagi saya ini pertemuan yang menarik dalam mengupayakan cinta untuk anak. Untuk anak jangan coba-caba kata sebuah iklan. Ini bukan perkara latar belakang kemampuan ekonomi keluarga. Saya tidak bisa menakar itu. Kalau tidak diukur dari kepemilikan mobil banyak juga yang punya tapi secara ekonomi tidak mantap. Ada yang hanya naik motor dan kereta tapi tabungan deposito dan sawahnya luas. Saya melihat ini semua sebagai love is all, it gives all, and it takes all.

“Kalau pas lagi seperti ini masih bisa lihat kuasa Tuhan gak Mas?” pertanyaanku terakhir sebelum aku pamit.

“Tuhan kelihatan besar sekali Mas”, jawabnya mantap

Ada yang bilang kalau tidak ada masalah besar atau masalah kecil dalam hidup ini. Kalimat itu memiliki kesan absurd dan tidak jujur. Tapi itu seharusnya tidak berlaku bagi yang percaya Tuhan. Tidak ada masalah yang lebih besar dari pada Tuhan. Tapi di mana keadilan Tuhan jika anak yang kita kasihi harus berjuang dengan sakit? Doa tidak mengubah sikap Tuhan, tapi ini mengubah sikap hidup bagi yang berdoa kepadaNya. Ini juga berlaku bagi kita dalam mendaraskan doa bagi kesembuhan Janisa