Tuesday, October 23, 2012

Pesan Keren Meski dari Botol

A year has passed since I wrote my note
But I should have known this right from the start
Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my [x3]
Message in a bottle [x2]

A year has passed since I wrote my note
But I should have known this right from the start
Only hope can keep me together
Love can mend your life
But love can break your heart

I'll send an SOS to the world
I'll send an SOS to the world
I hope that someone gets my [x3]
Message in a bottle [x2]

Di atas lagu berjudul Message In The Bottle yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Gordon Matthew Thomas Sumner atau yang terkenal dengan Sting. Pria asal Inggris ini selain  jago tulis lagu , menyanyi di atas panggung, juga memainkan bass.

Berbagai penghargaan menghampirinya, diantaranya Grammy Awards dan Emmy Award.  Tahun 1977 ia bergabung dengan The Police bersama Andy Summers (giitar) dan Stewart Copeland (drums).  Album solo Sting pertama dirilis pada 1985. Selain di dunia musik, sulung dari empat bersaudara ini juga merambah dunia film. Judul terakhir ia muncul sebagai cameo  yakni sitkom berjudul Life too short.

Selain menjalani hidup sebagai musisi dan seniman, Sting juga aktif dalam kegiatan advokasi untuk HAM, HIV – AIDS dan kelompok yang rentan, yakni anak-anak dan para ibu.

Dari segi ketenaran Sting sangat popular, bahkan masuk dalam kategori legenda musik. Dengan gemerlap dunia pertunjukan rela ke dalam dunia yang sunyi bagi kelompok beresiko untuk menyampaikan pesan-pesan kepedulian kepada dunia - SOS to the world.



''I'm fortunate enough to be able to do exactly as I please.
Music is my discipline as well as my spiritual journey.
It's also fun and it makes me happy.
I'm always led by my curiosity and my desire to learn and get better as a musician.
My strategy has always been to play with musicians better than myself, constantly attempting to raise the bar. Standing still is not an option.'' - Sting

Sting akan manggung di Jakarta pada 15 Desember 2012 dalam rangkaian tour bertajuk  Back to Bass Tour  2012. Niat hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tak sampai, ingin nonton tapi harga tiket mahal, saatnya kirim SOS to the world nih. Bagi yang punya kesempatan semoga bisa menikmati




Sunday, October 21, 2012

Bukan Asal Rempong, Gak Rempong Gak Asik

“Hi Joe, kalau sudah diterima tolong langsung kirim tanda terimanya ya, kalau nggak ntar rempong,” demikian suara dari seorang wanita diujung telepon nan jauh di sana tapi suaranya riuh sekali.

Mungkin itu pertama kalinya saya dengar kata “rempong” meski diucapkan dengan logat Jawa yang ketal.

Setelah sedikit googling, akhirnya lewat kamusslang.com  tau juga arti rempong, yakni repot, ribet. Memang akhir-akhir ini ‘rempong” sering digunakan dalam percakapan lewat dunia maya. Meriahnya penggunaan sosial media bisa jadi lading persemaian. Topik pembicaraan di jejaring sosial akan menjadi pembicaraan diranah nyata. Sampai “rempong” jadi program tv dan judul sinetron.

Tidak harus menjadi kantor berita atau opinion leader bisa posting di milis dengan anggota ribuan dan “nge-twit” sesuatu yang menimbulkan kegalauan akan mendapat exposure. Tapi jangan senang dulu, semakin hari pengguna internaet semoga semakin cerdas untuk menyaring di jaringan global di mana pertempuran ideologi itu terjadi.

Lewat beberapa hari setelah terima telepon itu, saya pun mulai sering berkata dalam hati melihat suatu hal yang dilakukan dan sering menimbulkan rempong. Kadang secara sengaja dan tidak sengaja, ada saja orang disekeliling kita yang menjadi segala sesuatu kalau gak rempong gak asik. Artinya segala susuatu kalau tidak dijadikan ribet dan diulang-ulang belum puas.

Semoga kita tidak menjadi sumber rempong bagi sekeliling. Tapi bisa menawarkan salusi atas rempong yang mereka hadapi . :) 

Nasi telah menjadi Bubur (Ayam)

Nasi telah menjadi bubur, peribahasa yang artinya sudah terlanjur, tak dapat diubah lagi. Tapi kalau nasi sudah jadi bubur ayam enak juga kok. Kalau pagi dan tidak sempat sarapan di rumah, boleh dicoba salah satu menu yang layak untuk sarapan. Bubur Palagan di Kayu Putih Tengah dan  Bubur Ayam di emperan KFC Cikini. Saya bisa cicipdua bubur itu karena disesuaikan dengan jalur perjalanan ke kantor tiap Senin – Jumat, dan ke kampus tiap Sabtu.

1.       Bubur Ayam Palagan – Jl, Kayu Putih Tengah.

Dari pada bingung, patokan yang bisa dijadikan acuan cari lokasi Bubur Palagan ini di seberang pom bensin Jl. Raya Kayu Putih. Gerobak dan tenda terpal sebagai tempat berjualan. Bubur ayam yang disiram kuah olahan ayam dengan cita rasa semur ini ditaburi potongan cakwe, seledri, bawang goreng, jamur olahan dan tentunya suwiran ayam kampung. Lembutnya bubur berpadu dengan aneka taburan ketika di dalam mulut menambah nikmatnya bubur ayam yang rasnaya gurih ini. Ada pilihan usus, ati ampla, uritan, telor dewasa sebagai lawannya uritan dan jantung ayam yang tentunya dimasak semur. Harga dan rasa sepadan, apalagi porsinya cukup besar.


2.       Bubur Ayam di emperan KFC Cikini

Tiap Sabtu ketika perjalanan ke kampus di daerah Menteng, saya pernah coba turun di Stasiun Cikini. Tujuannya mencoba bubur ayam Cikini yang terletak di area parkir KFC Cikini. Silih berganti orang irang duduk dan meninggalkan di tenda terpal warna oranye ini sebagai salah satu indikator kalau bubur ayam ini sukup banyak peminatnya. Bubur ayam disajikan dengan taburan kacang, seledri, kerupuk  dan irisan ayam kampung ini dibandrol Rp 10,000 per porsi. Sambel kacang dalam botol yang disiapkan dalam botol di tiap meja sebagai penambah rasa. Lauk yang kerap bersanding dengan bubur ayam ini hampir sama dengan penjual bubur ayam lainnya. Tapi ada yang lain, yakni sate kuliut ayam. Rasanya saya cocok, dan porsinya pas dengan perut saya.  Selain bubur dan kuah kare yang gurih, taburan bawang merah gorengnya juga terbilang royal. Suwiran ayam juga ukurannya tidak minimalis sekali. Tidak salah kalau dicoba.

Tidak selamanya nasi yang sudah jadi bubur itu tidak enak, tidak salamanya sesuatu yang sudah terlanjur dan tidak bisa diubah lagi berarti kiamat :)

The Way How to Survive: Menggantungkan Hidup di Ujung Jarum, Pisau dan Lem.

Susunan sepatu, sandal dan sol yang terkesan tidak rapih memenuhi gerobak kecil milik Mahfud. Gerobak dorong itu dilengkapi dengan tiang penyangga khusus payung untuk menghindarkan Mahfud dari panas dan hujan.  Pria asal Garut itu sudah menjalani profesi sebagai tukang sol sepatu sejak tahun 77 di daerah Depok Timur. Sempat awal sebelum memutuskan sebagai tukang sol, ia menjual sandal keliling. Keputusan perubahan diambil karena semakin banyak competitor dan berkembangnya industri sepatu dan sandal yang memberi pilihan bagi konsumennya untuk mencari yang lain.

Satu Sabtu sore kebetulan Mahfud melintas depan rumah dan seketika itu juga saya panggil untuk memperbaiki sepatu yang sudah menganga di bagian sol. Setelah sepakat dengan harga, maka sepatu Caterpillar yang saya beli di Mustafa sekitar empat tahun lalu mulai dikerjakan. Sepatu ini sengaja saya beli karena tidak puas dengan sepatu yang dijual kebanyakan dengan harga murah tapi saya harus ganti tiap tiga bulan. Entah solnya cepat tipis, jahitannya yang mudah lepas, bahkan lobang. Kalau dihitung saya harus keluarkan anggaran lebih. Misalnya saya harus beli sepatu di departemen store seharga seratus ribu, kalau sepatu rusak dalam tiga bulan, maka saya harus anggarkan empat ratus ribu per tahun. Bagi saya itu akan lebih mahal disbanding dengan beli sepatu empat tahun sekali meski ketinggalan model.  Entah karena kualitas sepatu tidak baik atau beban tubuh saya yang berat sehingga sepatu tidak mampu tahan lama.

Mahfud dengan lincah memainkan pisau untuk mengiris bagian yang akan dijahit. Bangku pendek yang selalu perlengkapan yang selalu dibawa dalam gerobak. Pria berumur 55 tahun ini tinggal di Depok menempati sebidang kamar yang sempit, sedangkan istri dan ketujuh anaknya di Garut.

“Pak, tidak sering pulang ke Garut?” tanyaku

“Jarang Jang, paling dua bulan sekali”, jawabnya dengan logat Sunda yang kental. Pantas saja pria yang saya perkirakan usianya  lebih setengah abad ini memang saja dengan sapaan ujang, sebagai sapaan kepada anak laki-laki.

“Ujang kerja PNS ya?” tanyanya

“ Ah tidak Pak”

“Trus, kalau kangen keluarga bagaimana Pak?”

“Kalau Kangen mah pulang, tapi kadang banyak kerjaan. Pasiennya banyak!!”

“Mulai sepatu yang merek Eropa sampai bikinan Cibaduyut, Bapak pernah perbaiki”, katanya ayah yang menyimpan foto anak pertamanya di dalam gerobak.

“Ini juga ada dagangan sepatu kulit asli buatan Itali seken pesenan orang, ada juga tuh tas kulit ular, asli Jang” ujarnya setengah promosi.

Memang Mahfud ini lumayan ramai pelanggannya, mulai melayani jasa perbaikan sepatu, ia juga perbaiki tas. Tidak kurang dari 3 orang pada saat itu datang untuk perbaiki sepatu. Bahkan tak jarang dia jual sepatu seken dengan kualitas bagus. Ia bisa mendapatkan sepatu dan sandal bermerek berbahan kulit.

“Sehari bisa bawa pulang uang berapa Pak?” tanyaku

“Tergantung Jang, sekarang ini bisa cepet cari duit, tapi cepet juga habisnya. Sekarang mah nggak ada yang murah”

“Paling enak jaman sebelum reformasi, semua masih murah. Sekarang saya paling tidak harus kirim uang ke kampung dua juta tiap sepuluh hari”

Wow, nilai yang fantastis. Meskipun saya juga tidak berani memastikan bahwa oria ini sebagai orang yang tidak setuju gerakan reformasi, tapi yang mungkin lebih tepat sebagai salah satu dari sebagian banyak pihak yang tidak menikmati lesatnya gerakan reformasi secara ekonomis. Seandainya benar tiap sepuluh hari harus kirim uang ke kampung dua juta, maka paling tidak penghasilan Mahfud diatas enam juta perbulan. Kalau total anggota keluarga sembilan orang dikali dua dolar dengan kurs sepuluh ribu kali 30 hari, maka kebutuhan sebulan 5,400,000. Sedangkan penghasilannya 6,000,000 lebih, apakah ini yang dikatakan orang miskin berkurang?

Tunggu dulu, belum lagi kalau ada kebutuhan untuk kesehatan, sekolah, uang saku anak, dan kalau ada kerabat yang punya hajatan tentu harus sumbang. Entah kurang atau tidak, yang jelas pak Mahfus bisa bertahan hidup. Sah-sah saja kalau pria yang gemar bertopi ala koboi ini mersa lebih enak di jaman sebelum reformasi di mana semua harga masih murah. Tak heran memang di jaman yang serba bebas ini, semua yang berbau komoditas bisa dibandrol harga bergantung penjual, bukan hanya bergatung kepada permintaan konsumen.

“Jang, banyak sedikit harus disyukuri, asal kerha yang halal, ibadah yang tekun, kerja yang keras”, ujarmya seoalah memberi petuah pada anaknya. Saya tidak merasa ada yang salah, toh belajar bisa dengan siapa saja. Langit mulai gelap, setelah titip sebentar gerobaknya untuk sholat magrib, Pak Mahfud melanjutkan perjalan, entah pulang atau masih keliling melanjutkan pekerjaan”