Saturday, August 18, 2012

Jagung Bose yang Tiga Kali Harga Beras

Jagung Bose, dendeng daging sapi dan ikan asin jadi sesuatu yang spesial bagi kawan-kawan asal NTT yang merantau keluar pulau. Saya hanya cangkokan saja dari keturunan NTT karena istri asal Rote. Seperti halnya pernikahan bukan hanya antara dua orang saja, tapi juga ada proses pertukaran budaya, diantaranya makanan. Dasar saya suka mencoba sesuatu yang baru, ketika menikah juga sering mencicipi masakan khas NTT. Somehow saya cocok, karena keyakinan saya setiap makanan dimasak untuk tujuan ‘enak’. Jadi tidak masalah dengan saya yang pecel addict.
Ketika masih di Batu, kami sering berbagi dengan sesama kolega dari NTT. Diantara Stefen Ndoen, John Manuain dan David Ndoen kerap bersantap bersama dengan kami untuk menikmati makanan khas NTT. Menu mulai dari daging Se’I, ikan asin, jagung bose, jagung pulut rebus, sampai hanya sekedar jagung titi goreng. Makanan khas bisa jadi obat penawar rindu kampung halaman.
Sabtu, 11 Agustus 2012 jadi hari yang special. Selain bisa menemani anak-anak dan keluarga di rumah, ada yang special di menu sarapan pagi ini, yakni jagung bose. Jagung bose adalah jagung jenis pulut, bukan dari jenis hibrida. Jagung Bose adalah bulir-bulir pipilan yang telah dibersihkan dari kulit luarnya. Proses pembersihannya dilakukan dengan sederhana. Konon jagung direndam dulu, kemudian jagung ditumbuk dengan alu melalui wadah lesung hingga menghasilkan bulir-bulir yang bersih.
Setelah direndam semalam, bulir-bulir direbus bercampur kacang merah atau tanpa campuran. Proses merebus juga lumayan lama, kurang lebih dua jam. Bisa dinikmati dengan daging Se’i, dedndeng atau ikan asin tanpa sayuran. Hari itu tema menunya serba berbahan jagung dengan adanya jagung Titi. Jagung Titi lain lagi, dari jagung pulut yang dititi (pukul) hingga berbentuk emping.
Tahun 2011 saya sempat ke Kupang. Di perempatan dekat kantor dinas Gubernur dari arah El Tari ada baliho dari Gubernur –Wakil Gubernur menyerukan “Banggalah akan Pangan Lokal NTT”. Kabarnya seruan itu berhasil menganggakat pamor makanan lokal. Menurut cerita, salah satu kerabat yang pernah menjadi direktur Bank NTT juga menjadikan jagung rebus sebagai kudapan di meja kerja kantornya. Namun hal paradoks terjadi dengan harga jagung bose di pasar. Harga bisa menembus Rp 25.000 per kilo. Menurut keluarga yang sering kami minta untuk kirim dari Kupang, selain jarang ditemui dengan kualitas bagus di pasar, harga juga mahal. Harga itu tiga kali lipat harga beras kualitas bagus.
Dalam buku Ekspedisi Jejak Peradapan NTT – laporan jurnalistik Kompas, Viator Parera pengamat pertanian NTT berpendapat, Pemerintah Provinsi NTT sebaiknya fokus pada pengembangan pertanian yang cocok dengan kondisi geografis dan iklim di NTT.
Sering kebijakan pemerintah daerah kurang tepat. Sri Wahyuni, pengajar fakultas Pertanian Universitas Flores Ende menyontohkan, ketika pemerintah pusat mendorong penggunaan bibit jagung hibrida, tanpa kajian mendalam pemda langsung menerima dan menyalurkan ke petani. Padahal jagung hibrida membutuhkan banyak pestisida, pupuk kimia serta air.
Pantas, To’o (paman) Ama tidak terlalu suka ketika di Batu saya suguhi jagung manis yang konon membutuhkan perawatan khusus dengan pestisida.
Sisi lain dari susah didapatinya jagung bose, karena proses pembuatannya tradisional. Tidak bisa menggunakan mesin, harus menggunakan tangan untuk bersihkan jagung. Mungkin kalau tidak diupayakan jagung bose bisa hilang dari peredaran karena tidak ada yang produksi lagi. Okeylah kita boleh doyan makan, tapi perlu dipikirkan cara produksinya. Kalau terjadi rawan pangan, apa kita harus arahkan dengan makan raskin?

Nasi Goreng Cakalang Lau's Kopitiam - Lippo Karawaci


Karena sudah waktu jam makan malam dan perut menahan lapar sejak siang karena harus mengejar meeting. Tak ayal lagi, begitu saya keluar dari akses jalan lokasi meeting langsung melihat deretan tempat makan, salah satunya Lau’s Kopitiam di Benton Junction, kawasan Lippo Karawaci.

Setelah mbak-mbak pramusaji menyodorkan daftar menu, mata saya mengarah ke kelompok makanan berjudul RICE. Maklum, siang hanya diganjal sepotong Sari Roti dan Aqua 600ml. Dasar perut Jawa, kalau tidak makan nasi berarti belum makan. Entah apa jadinya saya kalau di dunia ini tidak ada lagi halan untuk tanam padi atau nanti jadi mahal seperti emas. Setelah beberapa saat, akhirnya saya putuskan pesan nasi goreng cakalan dan es teh manis.

Saya memilih duduk di bangku beratap tenda parasol di side walk. Kalau sudah kelaparan, menunggu 15 menit itu rasanya 15 tahun. Tapi ramai kendaraan yang lalu lalang bisa jadi pemandangan yang mengalihkan sesaat rasa lapar. Akhirnya, sepiring nasi goreng cakalang dan segelas es teh manis datang.

Mmmmmm, aroma bumbu yang berpadu dengan cakalang membuat saya sejenak menelan saliva.

Setelah say grace, saya lakukan sendokan pertama. Mmmmm dugaan saya benar, aroma yang pertama tadi saya hirup terkonfirmasi dengan rasa di lidah. Ada rasa bumbu standart nasi goreng dikombinasi sedikit rempah jahe. Didominasi tone pedas, nasi goreng cakalang ini juga diperkaya cita rasa cakalang asap yang aroma smookeynya menyelinap terasa di lidah. Suwiran cakalannya juga tidak pelit. Lumayan bisa terasa tekstur ikannya, biasanya ada suwiran ikan cakalang dalam masakan menu apapun tapi hanya aromanya saja, tidak bisa dirasakan tekstur ikan saking lembut suwirannya hehehehe.

Secara keseluruhan, baik rasa maupun cara penyajiannya cocok dengan saya. Rasa dan porsi masih masuk akal saya dengan harganya karena memang lokasi. Sepiring di bandrol 25 ribu dan es teh manis gelas besar 10 ribu.

Karena waktu makin larut dan takut tidak kebagian bus arah KP. Rambutan, akhirnya saya beranjak dari bangku untuk lanjutkan perjalanan.

Lau's Kopitiam –Benton Juction

Jl. Boulevard Palem Raya No. 38

Lippo Karawaci, Tangerang

Telp (021) 546-8770

Opening Hours:
Mon - Sun 10:00 - 22:00

Saturday, August 11, 2012

The way how survive: Isi Waktu Luang Nan Bermanfaat.

Jumat petang itu saya habiskan dengan bertemu dengan seorang kawan lama di Taman Menteng. Berbicara tentang yang penting hingga yang tidak penting di sebuah taman berteman dengan minuman yang dijajakan pedagang asongan yang kerap mangkal di Taman Menteng. Letaknya persis di belakang Hotel Formule 1 kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Kami memilih duduk di salah satu penjual minuman dingin yang bersanding dengan gerobak nasi goreng.

Sedikit kaget ketika membayar sebotol air mineral ukuran 600 ml. merek ternama dan dan teh botol. Penjual yang mengaku namanya Husor menyebut, ‘sembilan rebu, Bang”. Setelah saya tanya secara rinci harga air mineral Rp 5,000 dan teh botol Rp 4,000.

Dibanding dengan harga di gerai seven eleven yang hanya berjarak kurang dari 100 meter hanya dibandrol paling mahal Rp 2,500. Ada bonus tambahannya ada fasilitas free Wi-Fi, ruang ber-AC dan kursi tentunya. Kalau di bang Husor jangankan AC dan Wi-Fi, kursi pun tak ada. Kami berdua duduk dipinggiran pagar yang mengelilingi taman sepanjang trotoar.

“Kalau siang kerja di mana Bang?”, tanyaku

“Saya dinas di Cilandak”, jawabnya

“Kantor apa Bang?” sahutku

“Saya Marinir, biasanya yang jual ini istri saya. Tapi karena dia dinas malam, jadi saya yang harus gantikan,” jawabnya sigap

“Istri memang tugas di mana Bang?”, lanjut tanyaku

“Di rumah sakit”, jawab bang Husor

Aku langsung berkata dalam hati,”Memang tidak cukup gaji anggota Marinir dan karyawan di rumah sakit?” Tapi itu bukan urusan saya untuk cari tahu berapa pengahasilan orang, tapi yang penting bagiku dia hanya berusaha bertahan hidup dan memenuhi kebuhan dengan bersih dan benar. Bersih belum tentu benar, dan benar belum tentu bersih.

Ada banyak cerita di negeriku ini yang bisa mendapat pengahasilan dengan benar tapi dengan cara yang kotor, tapi ada juga yang mendapat pengahasilan yang bersih tapi dengan cara yang tidak benar. Benar dan bersih juga sangat relatif, itu menurut siapa. Mencari yang dengan cara yang kotor dan tidak benar saja susah, apalagi yang bersih dan benar.

“Kalau begini dua anak Abang sama siapa di rumah?”, tanyaku sambil mengingat Jeyson dan Gadis yang di rumah. “Sama neneknya,” jawabnya singkat.

“Bukan situasi terbaik yang diperoleh anak-anaknya”, dalam hatiku lirih. Tapi sebagai sesama orang tua, saya juga bisa merasakan bagaimana usaha terbaik untuk anak dan kebutuhan rumah tangga akan mengorbankan sisi yang lainnya. Sama-sama ingin kebutuhan terbaik anak yang ingin terpenuhi, disisi lain kebersamaan dengan anak terlewatkan. Situasi ideal yang membutuhkan usaha keras untuk memujudkan.

“Saya jualan ini untuk isi waktu kosong dari pada nganggur di rumah” celetuknya dengan suara baritone yang menyadarkanku dari lamunan tentang anak-anak yang harus tidak bersama dengan orang tua karena harus bekerja. Bagi saya tanpa harus mengambil kesimpulan dangkal, apapun motivasi bang Husor akan memberi pengahsilan tambahan.

“Kalau jualan di sini tidak ada trantib yang larang berjualan?” tanyaku

“Nggak ada Mas, kita hanya setor ke pengurus kebersihan disini.”

“Paling yang pernah datang dari tentara aja”

“Kenapa Bang?” tanyaku ingin tahu

“Ya, istilahnya disinikan wilayahnya, tapi saya bilang kalau saya ini cuman ingin jualan baik-baik dan tidak mau rusuh. Tapi mereka ngerti kok” jawabku dengan penjelasan yang tidak perlu pertanyaan tambahan lagi. Belakangan saya baru tahu kalau di Taman Menteng ada Koramil.

“Semua setorannya sama Bang?” tanyaku

“Nggak sama, tapi kalau saya ya lumayan juga sebulan tiga ratus ribuan” jawabnya.

“Kalau yang dipinggir jalan sana lebih mahal lagi” imbuhnya

Saya sedikit analisa, bisa jadi harga sebotol air mineral di sini lebih mahal karena sotorannya yang lumayan dari tenant. Harga kontribusi yang tidak sama masih lumrah dengan pertimbangan crowd sebuah lokasi usaha, tapi kalau itu dilakukan tidak resmi bisa rempong kalau pinjam istilah gaul. Bisa jadi gerai jaringan internasional di depan jual air mineral lebih murah karena bayar pajak dengan resmi. Dalam hati saya berkata, “seharusnya yang tidak resmi lebih murah”. Tapi ini hanya silogisme dangkal saja dari seorang yang tidak selesai kuliah di fakultas ekonomi. Ketika air yang jadi kebutuhan dasar hidup manusia harus ditambahi beban embel-embel harga lainnya bisa jadi mahal.