Wednesday, July 24, 2013

Guru Muda Yang Berkarya



Hari ini sempat bicara dengan Jeyson tentang sekolah barunya. Seragam baru, lingkungan baru. Kata Jeyson di sekolah banyak guru yang masih muda, beda dengan guru di sekolah-sekolah terdahulunya. Malah ketika di TK guru yang akrab dipanggil Bu Mar seusia Eyang Putri di Surabaya. "Muda seperti ayah bukan eyang putri, malah ada yang lebih muda lagi" kata Jeyson. Dalam hati saya mengamini, mungkin raut saya kalau ada cermin saat itu nampak berbinar karena masih kategori muda menurut Jeyson.

Bagi saya yang menarik  dengan keberadaan para pendidik muda seperti kata Jeyson. Terlepas dari tidak ada pilhan lain untuk bekerja atau memang pilhan bekerja sebagai seorang guru. Ada beberapa faktor menurut saya membuat orang jatuh pilhan menjadi guru mengingat dulu ada istilah guru tanpa tanda jasa. Jadi guru adalah pengabdian kurang lebihnya kalau saya terjemahkan begitu. Harus memiliki integritas, harus punya beban dan tulus seperti layaknya pilihan menjadi seorang jurnalis atau rohaniwan. Pilihan itu harus dibarengi sikap itu, jika tidak bisa dibayangkan misalnya rohaniwan bisa gadaikan ayat suci demi memperkaya diri, memberi informasi yang tendensius atau melukai orang lain.

Pertemuan saya dengan beberapa pengajar sepertinya sekarang mulai serius ditekuni, tak tanggung-tanggung ada yang mendalami studi kependidikan sampai luar negeri. Perdalam ilmu hingga luar negeri bukan hanya ahli ekonomi, atau kalau meminjam istilah Benyamin S. dalam sinetron Si Doel  Anak Betawi  dengan Tukang Insinyur untuk sebutan sarjan tehnik, tapi juga ilmu kependidikan dalam semua tingkat.

Menjadi agen perubahan bisa lewat banyak jalan. Kalau tahun 1998 pemuda dan mahasiswa meneriakkan reformasi untuk demokrasi politik. Mungkin sudah saatnya sekarang setelah 15 tahun reformasi dengan sebagai agen perubahan dalam pendidikan.  Mau disambut gembira dan optimis atau nyinyir, tapi dalam Kompas, 9 Juli 2013 : 69,4 persen lulusan SMA pilih jadi guru. Pertanyaan berujung pada atas dasar apa mereka memilih belajar dalam bidang pendidikan? Apa tergiur tunjangan? Padangan selalu ada pro dan kontra, ada yang menilai subyektif. Tapi inilah ruang umum, bisa bicara apa saja untuk membangun kebenaran obyektif untuk hidup bersama. Seorang kawan saat ini menjadi kepala sekolah  yang dapat dibilang keren dan maju di salah Jakarta Barat pernah bertutur kalau awalnya memang menjadi guru, tapi ketika akan menikah pindah kerja di salah satu perusahaan consumer good. Alasanya simple, untuk meyakinkan mertua karena jadi guru gajinya kalah dengan pekerja di perusahaan. Setelah lima tahun bekerja di bagian riset dan pengembangan dengan posisi senior, akhirnya memilih kembali ke profesi awal sebagai guru sampai sekarang menjadi kepala sekolah. Itu dengan catatan seijin mertua. "Kalau sudah jadi panggilan kagak ada yang lawan deh", kata kawan seorang guru yang berlatar belakang sarjana fisika itu. 

Saya optimis kalau mereka yang memilih pendidikan guru akan menjadi agen perubahan lewat pendidikan. Ada yang bilang integritas dan ketulusan sebagai pendidik tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, sama seperti lirik lagu DEWA 19, “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, beri aku sedikit waktu biar cinta datang karena terbiasa”.

Pembicaraan terakhir dengan Jeyson yang paling penting yakni, “Pak, di sekolah ada lapangan basket dan lapangan bola yang luas”. Jawabku singkat, “Oh gitu ya? Enak dong puas main bola, jangan lupa kalau sudah jam masuk kelas ya” Pada dasarnya manusia adalah ‘homo educationis’, yaitu makhluk yang bisa untuk dididik dan bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi lain, baik dalam hal kebiasaan, cara berpikir, selera, dan lain‐lain. Ketika pada nanti di tenagh jalan ada sesuatu yang mengganggu perjalanan pendidik yang jumlahnya 69.4 persen dari lulusan SMA, ada peran penting yang penting dari kita semua untuk ingatkan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak kita.

Apa kamu yang muda ingin jadi agen perubahan lewat pendidikan anak-anak Indonesia?