Monday, January 20, 2014

Ibu



Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Di atas adalah penggalan lirik lagu Iwan Fals, judulnya Ibu. Tadi pagi saya menerima sms dari 08123084xxx. Isinya, “Gimana rumahmu, kena banjir gak? Terus arah ke kantormu dan Lia? Terima kasih ibu yang selalu mengingat saya dan keluarga di sini. Walau dalam bentuk pesan pendek.

Apalagi saya melihat ulang gambar dibawah ini yang saya foto dengan kamera hape di komuter pada pertengahan tahun 2013 sepulang kulah. Jadi ingat ibu, sebagai orang tua tunggal menemani saya melewati waktu-waktu sulit tahun 1998-2000. Papa pasti bangga di atas sana.


Hi Mr. You Don’t Know What You Don’t Know



Ketidaksamaan perilaku kadang menimbulkan benturan. Mulai anggota keluarga  sampai masyarakat yang paling luas semua tak sama. Anggapan untuk meenjadi yang paling benar, paling patut dihargai dianatara sesama itu wajar. Tidak ada yang salah dengan itu, ya tidak ada yang salah.

 “you don’t know what you don’t know” , kata seorang kawan dalam sebuah diskusi.

“jika demikian tolong bantu saya untuk bisa paham dan masuk diakal saya letak ketidaktahuan saya”, timpalku

Berbeda pendapat dengan kawan sudah biasa. Apalagi berbeda pendapat dengan pasangan, bahkan anak sekalipun. Secara asal usul rahim tempat kita dikandung berbeda, jenis kelamin dan kesukaan juga berbeda.

Perbedaan pendapat saat ini mungkin eranya sudah mengijinkan dan terbiasa bagi sebagian orang.  Terlebih adanya media sosial memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang terlontar tentang sebuah subyek. Konon ini dianggap sebagai sebuah ruang publik untuk saling bertukar ide, tapi entah bagi yang tidak sambungan internet ini dianggap ruang publik atau tidak. Mungkin bisa saja kepedihan muncul karena kita dianggap berbeda dan pada ankhirnya pendapat kita dipatahkan. Ada yang tahan rasa pedih, namun ada juga yang tidak tahan pedih. Namun manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling canggih ini memiliki akal budi dan kemampuan untuk berjuang. Tergantung kuatnya kemauan untuk bangkit, belajar dari kesalahan masa lalu dan rela mendapat saran dari pihak lain. Kadang kita butuh orang lain sebagai penasehat atau mendapat second opinion.

Berperilaku di tempat umum juga kadang semua orang tidak semua sama. Mungkin Anda semua pernah dibuat jengkel karena perilaku orang lain di jalan raya, atau sebaliknya tanpa disadari Anda membuat orang lain jengkel hehe. Suatu ketika pernah lampu perhentian di perempatan jalan Pemuda. Saya berhenti dibelakang garis pembatas ketika lampu merah sangat nyata bersinar. Maklum ini sebagai pengendara baru di ibu kota niatnya tertib. Eh tapi seorang bapak menghampiri saya dan bilang, “bang maju sedkit saya mau maju”.  Tanpa banyak pikir saya pun maju melewati batas lampu lalu lintas dan kemudian sebuah angkutan umum berwarna orange dengan suara mesin khas lewat disebah saya dan akhirnya langsung bablas menerobos perempatan dengan tanda lampu merah ketika jalanan kosong. Jengkel? Pasti. Terguncang dengan perilaku orang lain yang tak sama? Pasti. Tapi saya pernah lakukan itu, hingga akhirnya ditegur polisi juga, itu pernah saya ceritakan disini.  

Kejengkelan-kejengkelan itu berlanjut ketika saya mulai gunakan moda transport commuter yang diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi Komuter. Commuter dapat dimaknai sebagai orang yg pulang pergi setiap hari untuk bekerja. Mungkin karena kebanyakan pekerja di Jakarta ini, atau bahkan di kota-kota besar lainnya para pekerja memilih tempat tinggal di kota sekeliling. Jalur kereta komuter yang saya gunakan jurusan Bogor atau Depok – Jakarta Kota. Dan kalau Anda pengguna atau pernah melihat tayangan moda yang semakin digemari ini, jumlah penumpangnya selalu padat. Tak hanya Senin sampai Jumat, Sabtu dan Minggu ketika saya harus ke kampus atau urusan dinas menggunakan komuter selalu tak kebagian tempat duduk dan cenderung berdiri meski tidak sepadat biasanya. Perkecualian kalau Anda naik komuter terakhir jam setelah jam 23.00 dari arah Jakarta peluang untuk duduk terbuka lebar. Itu juga kalau beruntung.

Kembali lagi ke masalah beda perilaku.  Penumpang yang beragam dan beda tempat model kerja tentu beragam juga cara bersikapnya. Terutama dalam membangun kesadaran  berperilaku agar semua bisa nyaman. Ada larangan duduk di bawah , ternyata ada juga yang duduk di bawah. Ada larangan makan dan minum di kereta seperti di luar negeri sana, tapi ya tetap ada juga yang dengan ringan mengunyah tahu isi dan isinya tercecer.

Itu cara saya melihat yang tak seratus persen benar dan tak harus menjengkelkan. Perjuangan di Jakarta ini memang membutuhkan stamina lebih. Tak salah bila akhirnya di perjalanan tetiba diserang lapar, haus dan lelah. Keterbatasan saya pahami perilaku itu tak seharusnya membuat jengkel. Bukankah perilaku yang tidak sama itu seperti besi menajamkan besi yangakhirnya juga membentuk saya? Satu lagi bantu saya untuk paham supaya saya bisa memahami, belajar dan menyesuaiakan diri.  Karena dengan menyesuaikan diri manusia dapat bertahan tetap hidup. Kelakuan itu mungkin cerminan diri saya atau cermianan negeri ini. Semoga kelakuan saya dan tulisan ini tidak menjengkalkan Anda semua.