Thursday, April 7, 2011

Susur Sungai Kahayan

Menyusur Sungai Kahayan dengan menumpang kelotok (perahu) pengangkut kangkung dan ternyata menambah pengalaman baru Minggu (27/03/2011). Jembatan Kahayan menjadi tetenger kota Palangkaraya. Jembatan dengan panjang 640 m dan lebar 9 meter dibangun 1995- 2001. Kelotok atau perahu yang biasa digunakan melintas di Sungai Kahayan ternyata rata-rata mesin motor penggeraknya kalau dilihat mereknya diketahui buatan China. Langit Minggu pagi yang masih menina bobokan penghuni DAS Kahayan yang memiliki panjang 250 KM. Kehidupan sungai pagi sudah dimulai dengan ritual yang relatif sama dilakukan oleh manusia dimana saja, yakni ke WC.

Sebuah toko yang menyediakan kebutuhan pokok penduduk Sungai Kahayan. Mulai pangan sampai kebutuhan kamar mandi. Meski aktifitas MCK di satu tempat dan air yang sama, peralatan mandi juga harus yang berlabel sama dengan yang ada di televisi.


Ini model peternakan di DAS Kahayan. Ikan punya keramba, merpati dan ayam punya kandang.





Sarana angkutan air untuk perabot rumah tangga lebih murah dari pada lewat darat.


Ramai lalu lintas air Sungai Kahayan disediakan stasiun pengisian bahan bakar untuk kendaraan air.

Wednesday, April 6, 2011

Wahyu dan Mamaknya

Kita punya banyak pengalaman masa lalu untuk diceritakan, tapi anak-anak memiliki masa depan untuk diperjuangkan.





Cuaca panas menghentikan perjalanan kami menggunakan motor jenis trail di warung pinggir jalan kawasan taman wisata Gaul di Palangkaraya. Warung semi permanen terbuat dari kayu isi dengan berbagai makanan dan minuman ringan dalam kemasan plastik dan botol. Pilihan saya jatuh pada kelapa muda yang tersaji dalam gelas.


Seorang anak, yang mengaku nama panggilannya Wahyu berbicara dengan Peter menggunakan bahasa Dayak . Berusaha memahami isi pembicaraan ternyata ia menawarkan biawak hasil tangakapannya di rawa-rawa belakang warung. Ia anak pemilik warung itu. Karena terbungkus karung plastic, saya tidak bisa melihat rupa hewan tangkapannya. Menurut pengakuan pemilik nama lengkap Wahyu Supriadi ini berumur 11 tahun. Kegiatannya hanya bermain di rawa-rawa belakang warung tempat ibunya berjualan sekaligus tinggal. “Saya hanya sekolah sampai kelas empat, karena sering pindah-pindah ikut orang tua mencari nafkah” kata Wahyu. Rupanya orang tuanya harus pindah-pindah dengan membangun warung baru demi mencari penghasilan dan bertahan hidup. Jarak perpindahannya tidak jauh, hanya dalam wilayah satu kecamatan Bukit Batu.


Menurut Pemerintah Kota Palangkaraya , kecamatan Bukit Batu luasnya 572,00 Km. Bisa jadi perpindahan dalam satu wilayah kecamatan jaraknya jauh. Memang maksud hati orang tuanya bagus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi pendidikan Wahyu terabaikan. Wahyu pada usia harus sekolah terpaksa tidak sekolah karena tiada saran transportasi yang menjangkau sekolah lamanya dan disekitarnya tidak ada sekolah. Namun semata-mata tidak ada sekolah, tapi perjuangan orang tuanya untuk mempertahankan hidup berdampak pada masa depan Wahyu. Sungguh kehidupan yang rentan.


Coba kita perhatikan diagram dibawah ini. Situasi yang rentan lebih dimampukan dengan adanya program ekonomi yang jelas memampukan orang tua Wahyu dan mungkin orang tua lainnya. Secara fisik mereka anak yang gisinya cukup. Palangkaraya berlimpah ikan dan sayur rotan konon memiliki kandungan protein yang tinggi. Paling tidak sejak kecil mereka sudah mengkonsumsi makanan itu. Tidak ada yang salah dengan nutrisi mereka. Situasi Wahyu dan Wahyu lainnya harus ada yang memikirkan. Impian saya disana banyak lahan yang bisa digunakan sebagai lapangan bola, kita dididik mereka dengan berbagai pengetahuan dan sepak bola. Berharap dari Palangkaraya lahir pemain sepak bola tangguh. Ayo Kak!!

Monday, April 4, 2011

Aceh, Mulai Resto Sampai Kaki Lima

Tidak telalu lama, hanya seminggu menginjakkan kaki di Aceh. Kapan pastinya saya ke Aceh juga tidak terekam dengan baik. Tapi yang pasti hari kedatangan saya bersamaan dengan Hasan Tiro pulang kampung pertama kalinya. Lautan manusia menanti kedatangan sosok yang dijulik Wali Aceh.

Ingatan terhadap Aceh bukan hanya itu saja. Tempat-tempat yang menyajikan makanan di Aceh juga menimbulkan kangen. Saya coba mengingat, meski tanpa klasifikasi yang jelas. Mulai yang resto, sampai kelas kaki lima.

1. Padang Bunda. Rumah makan Padang yang konon masih satu pengelola dengan Pante Pirak ini harganya selangit, tapi terbalas dengan cita rasa yang disajikan.
2. Resto Banda. Satu lagi rumah makan yang harganya selangit, tapi kepiting saus aceh rasanya ‘ciamik soro’. Kalau bisa makannya rame-rame. Maksudnya biar ringan memikul tagihannya.
3. Sate Matang. Di pusat makanan Rex, depan Hotel Medan dapat ditemui. Sate matang bukan berarti ada sate yang mentah. Matang adalah nama daerah di Aceh.
4. Mie Kepiting. Tempatnya masih sama, di Rex, tepatnya pojokan Pace Bene.
5. Ayam Tangkap. Secara cara masak seperti ayam goreng biasa. Tapi ada beberapa bumbu yang sengaja tidak dihaluskan dan daun jeruk digoreng. Hasil akhirnya daun jeruk berasa seperti kripik. Jangan kaget ukuran potongannya kecil-kecil. Mungkin satu ekor dipotong jadi 30-40.
6. Kopi Taufik, daerah kampung Mulia. Sering saya kunjungi karena kantor saya di Aceh juga daerah kampung Mulia. Relatif sama semua kopi Aceh. Sebenernya ada juga satu yang pernah saya kunjungi beberapa kali. Namanya Pocut Baren, patokannnya dekat GPIB. Sambil ngopi, cemilan andalan roti srikaya dan tak ketinggalan bisa menikmati aksi barista menyajikan kopi.

Yang terakhir ini bukan saja tempat minum kopi dan nongkrong. Tapi banyak hal yang dibicarakan oleh mereka. Mulai dari hal yang bersifat pribadi, bisnis, sampai keurusan politik.Mungkin kalau lebih lama disana saya bisa merekomendasikan makanan yang lain.