Thursday, July 3, 2014

Sebungkus Bubur dan Semua Yang Baik

Waktu terus berjalan dan meningggalkan bayangan dibelakang kita. Berapa jauh perjalanan hidupmu, sejauh itu juga bayangan melekat. Ada yang berusaha keras menghapus bayangan seperti kata mbak Momo, ‘lumpuhkan ingatanku’ atau sebaliknya berusaha memanggil semua bayangan ingatan masa lalu. Ada juga yang berusaha keras menghadirkan bayangan masa lalu dalam konteks kekinian. Masa lalu bagi sebagian orang menjadi penting untuk melangkah ke masa depan. Manis dan getir masa lalu jadi pembelajaran di mana depan.  Jika masa lalu itu berat, segera bebaskan langkah untuk melepas beban masa lalu.
Untuk wujudkan itu, entah mengingat masa lalu atau hapus banyak cara dilakukan. Salah satu cara mengingat masa lalu dengan mencicip ulang apa yang pernah kita rasakan masa lalu. Mainan masa kecil, membuka kembali album foto , membaca ulang tulisan di blog pribadi atau mencicip makanan kala dulu.
lapak bubur kampium

Bagi perantau tentunya jajanan khas daerah asal akan mengingatkan masa-masa lalu. Meski tidak ikut menjalankan ibadah puasa, saya tertarik berbaur kerumunan manusia Ibu Kota yang tengah mempersiapkan diri buka puasa di kawasan Kramat Raya. Ya, Kramat Raya tepat sebelah timur jembatan layang Pasar Senen berderat warung Kapau. Pelayan warung nasi Kapau yang menawarkan dan aroma gulai menjadi daya tarik untuk duduk dan mencicip. Aneka menu khas Bukit Tinggi tertata di baskom-baskom ukuran besar. Saya tidak sempat hitung berapa banyak jenis menu di satu warung nasi Kapau. Mungkin kalau Anda tahu, minta tolong saya dikabari.

Hari ini saya tertarik mencoba salah satu menu yang diburu pembeli sebagai menu buka puasa, yakni Bubur kampium. Bubur campur berisi ketan hitam, bubur sumsum, biji salak yang mirip candil dilengkapi pisang kukus atau mungkin dikolak. Masing-masing jenis dikemas terpisah-pisah, bahkan kuah kolak yang terpisah menjamin masih dinikmati dengan utuh tiap isinya ketika tiba di tempat. Maklum saya harus di kantor hingga larut. Macam-macam bubur tercampur jadi satu ini mirip dengan bubur-bubur yang pernah saya nikmati di daerah asal saya. Meski bukan asli Sumatra Barat dan tidak ikut berpuasa seperti saya juga cukup patut membungkus seporsi bubur kampium karena mirip bentuk dan rasanya sebagai pelepas rindu. Rindu itu mungkin disebabkan ada hal-hal yang melekat dalam diri saya, yakni Surabaya dan isinya. Mudah mencari padanan makanan Surabaya sekadar pelepas rindu di Jakarta ini. Tapi ada hal-hal melekat lain yang susah untuk dilepaskan. Mungkin bubur kampium yang mirip dengan bubur-bubur yang mudah didapti di pasar Bratang ini hal sepele. Tapi ini cukup memanggil ingatan saya kala itu. Ingatan pada petuah dan pembelajaran itu menempa dan menjadikan adanya kini.


Hari-hari terakhir ini saya sering bolak-balik ke Jakarta – Surabaya. Tapi masih tetap ingin ke Surabaya segera. Atau ini sebagai pertanda saya harus segera menetap di Surabaya dengan segala konsekuensi. Konsekuansi dengan hal-hal baru. Konsekuensi bertemu orang-orang lama dengan segala dimensinya. Konsekuensi dengan posisi pekerjaan yang baru. Apakah setelah di Surabaya nanti saya akan merindukan bayangan yang ada di belakang? Saya menyerahkan kepada pemilik waktu. Semua akan dijawab di sana.  Semoga ini bukan sekadar pulang tapi hasil dari memikirkan untuk semua yang benar, semua yang mulia, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. 

So maybe tomorrow
I'll find my way home
-    Stereophonics

Wednesday, June 18, 2014

The Man Who Can't Be Moved



The Man Who Can't Be Moved - The Script





Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying, "If you see this girl can you tell her where I am?"

Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke – I'm just a broken-hearted man
I know it makes no sense but what else can I do?
How can I move on when I'm still in love with you?

[Chorus]
'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street

So I'm not moving, I'm not moving

Policeman says, "Son, you can't stay here."
I said, "There's someone I'm waiting for if it's a day, a month, a year.
Gotta stand my ground even if it rains or snows.
If she changes her mind this is the first place she will go."

[Chorus]

So I'm not moving, I'm not moving,
I'm not moving, I'm not moving

People talk about the guy that's waiting on a girl, oh ohh
There are no holes in his shoes but a big hole in his world, hmm

And maybe I'll get famous as the man who can't be moved
Maybe you won't mean to but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
'Cause you'll know it's just for you
I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved

[Chorus x2]

Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move

*antara 73 dan 103

Belajar Dari Batu Bata

Apa Anda pernah melihat proses pembuatan batu bata? Ya, batu bata yang lazim digunakan untuk membangun rumah, pos satpam, tempat sampah, gedung atau kantor Anda. Barang kotak warna merah yang kerap ada hape lawas yang diidentikan  dengan batu bata. Mungkin karena ukuran dan bentuknya membuatnya mirip. 

Saya tidak sedang membahas kualitas bangunan menggunakan batu bata merah karena saya memang bukan ahli bangunan. 

Ini cerita kalau saya pernah lihat pembuatan batu bata milik seorang kawan yang diproduksi di pinggir sawah, dicetak dari tanah liat, dibakar dengan katu dan sekam, dijemur di atas lahan tanah, di tutup dengan plastik agar terhindar dari hujan dan menjadi kering sehingga siap dibakar. Juga tentang kayu dan sekam yang menjadi abu untuk membakar batu bata menjadi matang siap digunakan.

Udara dingin yang membekap gelap pagi buta terasa lengkap dalam menunggu angkot selama 45 menit di pojokan Mertokondo arah Karangsambung. Bergiliran dua tukang ojek menawarkan jasa secara halus dengan menjelaskan angkot masih lama, menunggu terang. Dalam perhitungan saya sambil melirik jam tangan, sekitar dua jam lagi sinar matahari menyapa Kebumen. Tidak terlalu lama untuk ukuran rencana perjalanan saya kali ini, dalam hati saya. Pagi buta bertemu kawan yang baru pertama kali bertemu di depan kantor desa juga membuka kesempatan kesan kurang baik. Alasan lainnya jarak 19 kilo meter jika menggunakan ojek ditawarkan empat kali lipat dari harga angkot. Lebih baik duduk bertahan diemperan toko dengan rolling door masih terkunci rapat, bertahan sambil menunggu matahari terbit dan berharap bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Hanya ada seorang supir angkot yang bakal saya tumpangi dan dua pengemudi ojek motor yang setia menunggu datangnya penumpang entah sampai kapan. Tak lama datang seorang yang saya lihat dari guratan wajahnya cocok sudah renta, namun semangatnya dalam bercerita tentang perjalanannya dari Bekasi dengan semangat. Jalanan menyisakan  lalu lalang kendaraan mulai sepeda motor, hingga mobil ukuran kecil dan tiga seperempat yang kemudian senyap. Di antara senyap dari salah satu bangunan deretan bangunan yang menyerupai toko atau warung terdengar semburan suara kompor dan  riuh minyak panas yang menggoreng sesuatu. Tak lama suara pintu terbuka dari salah satu bangunan, dan benar itu dari sumber suara tadi. Bergegas supir angkot menawarkan saya untuk ngopi di warung sambil menunggu penumpang lain. Ha ini diikuti dua pengemudi ojek motor dan bapak tua tadi. Tempe goreng panas tersedia diatas wadah yang menyerupai nampan dan penjual dengan lincah menyiapkan ketan yang dibentuk bulat dengan tangan berlapis plastik. Lumayan mengganjal perut dingin ini engan ketan, tempe dan segelas kopi.

Tak lama, supir angkot memberi tanda angkot akan segera jalan. Menyusuri kampung batik khas Kebumen, hamparan sawah, kelokan jalan mengikuti lekukan bukit. Akhirnya berhasil sampai di tempat yang telah disepakati dengan seorang kawan. Saya tidak menampik ajakan kawan, sebut saja Adi ke tempat kerjanya. Tempat kerja yang jauh dari kata mentereng, di kelilingi sawah dengan pemandangan sungai. Ya, Adi adalah wirausahawan batu bata. Diakhir obrolan saya sempat tanya bagaimana batu bata ini disulap dari tanah biasa menjadi potongan kotak warna merah dan kuat sebagai penopang atap rumah sebagai pelindung segala isi bangunan. Proses pemilihan jenis tanah yang digunakan, cetak, pengeringan, hingga pembakaran sampai siap dikirim harus melampaui waktu, ketekunana dan keahlian. Tanah liat merah di desa itu memang baik digunakan sebagai bahan batu bata. Tanah yang sudah diolah dan dicetak dikeringkan. Untuk menghindari kerusakan saat pengeringan, maka tumpukan batu bata mentah dibatasi dan ditutup dengan plastik agar tidak rusak karena hujan. Kemudian batu bata dibakar bisa menggunakan sekam dan kayu bakar. Pembakaran biasanya berlangsung satu hari hinggga proses pendinginan. Setelah dingin, kayu dan sekam yang menjadi abu karena api mulai disinggirkan untuk kemudian menjadi kebutuhan abu gosok. Lapisan luar dari tumpukan batu bata yang hitam terkena api dikupas, sisanya batu bata yang berwujud dan kuat.   

Kunci kekuatan batu bata terletak pada saat membakar. Bakar batu bata akan merubah warna dari bahan batu bata. Bergantung jenis tanah liat yang digunakan sebagai bahan baku. Pembakaran meubah tanah liat berbentuk kotak warna asal tanah liat menjadi kuat. Siap menopang yang di atas. Batu bata yang kuat tidak memandang warna asal bahan baku tanah liat, tapi telah melewati proses pembakaran yang tepat. Melewati proses seperti batu bata yang dibakar kadang menyakitkan, kadang kita enggan. Apa yang akan kita lewatkan dari setiap proses jika kita ingin hasil yang kuat? Asal usul tidak penting, tapi berani dan mau 'dibakar' atau mengikuti proses yang kadang menyakitkan  

Wednesday, March 12, 2014

Jagung Adalah Kunci


Coba Anda lakukan pencarian lewat mesin peramban Google dengan kata kunci makanan pokok NTT. Maka posisi teratas akan menemukan jagung sebagai makanan pokok warga provinsi NTT. Provinsi berpenduduk 4.899.260  jiwa ini pantas saja mengandalkan jagung kemudian diikuti oleh ubi sebagai sumber makanan pokok. Faktor ketersedian lahan basah untuk menanam padi tidak seperti di Jawa.

Saya pernah menulis tentang jagung sebagai sumber makanan pokok masyarakat NTT, yakni Jagung Bose yang Tiga Kali Harga Beras. Setahun lebih berlalu dari menulis itu, 19 Desember 2013 saya ada kesempatan lagi mengunjungi Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Baliho kampanye bangga konsumsi pangan lokal memang sudah tak nampak lagi di perempatan jalan W. J. Lalamentik dan El Tari. Mungkin program itu sudah berhasil.

Sehari berselang ada tugas mengantar mertua ke pasar yang berniat menyiapkan kebutuhan dapur dan meja makan menjelang natal, terlebih lebih lagi menantu datang dari jauh. Pilihan belanja jatuh ke Pasar Inpres dengan alasan sudah langganan dan tawar menawar harga. “Maklum menjelang hari raya natal harga suka mulai ngawur,” kata mama. Tanpa menolak saya bergegas mengarahkan kemudi ke pasar yang terletak di bilangan Naikoten. Saya selalu semangat jika pergi ke pasar tradisional, di sana bisa jadi cermin kehidupan masyarakat umumnya, apalagi makanan lokal. Pola interaksi dan transaksi ada di sana. Tindakan jujur dan adil salah satunya ada di pasar.

Entah benar atau salah, aturan bahwa yang terjangkau yang akan dikonsumsi. Semakin mahal semakin dihindari agar dapur tetap mengepul. Di lapak penjual beras di antara karung-karung beras, ada kacang dan jagung. Saya tergoda tanya harga beras disela-sela transaksi jagung yang kelak akan kami masak dan menyantap dengan ikan.  Beras dengan kualitas baik dibandrol Sembilan ribu per kilo. Masih tetap lebih mahal harga jagung yang nota bene makanan pokok masyarakat NTT yang dijual 12 ribu per kiloa.

Biar saja baliho kampanye ajakan untuk kembali ke pangan lokal berganti tema yang lain dengan menyematkan gambar pak gubernur dan wakil. Pasar Inpres yang berjarak tak lebih dari kantor gubernur NTT bisa jadi penanda pangan lokal masih murah. Memang pilihan konsumsi bahan pangan ada di tangan masyarakat. Tapi pilihan itu jatuh bergantung pada kondisi kantong masing-masing. Jadi pilhan untuk percaya atau tidak pada ujaran-ujaran petinggi dan kampanye juga terserah masyarakat? Kalau saya lebih percaya ketika jagung lebih murah dari beras yang datangnya dari luar NTT. Harga jagung yang lebih murah bikin bahagia dan bangga ketika makan. Karena Jagung adalah kunci.

Monday, January 20, 2014

Ibu



Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...ibu...ibu....

Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...ibu...ibu

Di atas adalah penggalan lirik lagu Iwan Fals, judulnya Ibu. Tadi pagi saya menerima sms dari 08123084xxx. Isinya, “Gimana rumahmu, kena banjir gak? Terus arah ke kantormu dan Lia? Terima kasih ibu yang selalu mengingat saya dan keluarga di sini. Walau dalam bentuk pesan pendek.

Apalagi saya melihat ulang gambar dibawah ini yang saya foto dengan kamera hape di komuter pada pertengahan tahun 2013 sepulang kulah. Jadi ingat ibu, sebagai orang tua tunggal menemani saya melewati waktu-waktu sulit tahun 1998-2000. Papa pasti bangga di atas sana.