Wednesday, May 11, 2011

Doa Hernandes dan Gol Cepatnya.


Laga ini jadi bisa jadi sebagai penentu siapa juara Barclay Premier League. Menjelang kick off babak pertama pada laga Manchester United vs Chelsea, Nampak Javier Hernández Balcázar atau yang biasa dipanggil Chicharito oleh penggemarnya mendaraskan doa yang cukup lama di tengah lapangan. Belum genap 1 menit pluit tanda pertandingan dimulai, tepatnya detik ke 39, Hernandez berhasil melesatkan gol pembuka meneruskan umpan Park Ji-Sung.

Memang doa Hernandez, pemain asal Meksiko dengan gol cepatnya tidak ada hubungannya secara langsung. Ada catatan gol lebih catatan gol yang lebih cepat dilesakkan oleh Nawaf Al Abed pada detik ke 2. Doa, gol dan hasil akhir pertandingan hanya Tuhan yang tahu. Terlepas ada tangan-tangan yang terlepas ada tangan-tangan yang tak terlihat ikut mengatur hasil akhir pertandingan. Wasit Howard Webb dalam kaitan pada pertandingan ini dipertanyakan intergritasnnya. Tapi tunggu dulu, dia juga tidak bisa bertindak sebagai tuhan yang menentukan hasil akhir dengan serta merta.

Hubungan doa dan usaha manusia untuk mendapatkan manusia sering menjadi perdebatan pemahaman sebuah keyakinan relegius. Satu pihak memahami doa menjadi pendukung sebuah usaha yang dilakukan. Satu pihak lain, memahami berdoa saja tanpa mementingkan usaha keras. Pada pihak lain lagi yang lebih ektrim memahami bahwa usaha keras kita lebih menentukan dari pada doa. Pertanyaannya, apakah ketika kita sudah berupaya dan berdoa keras, tapi hasil yang kita peroleh tidak sesuai dengan harapan artinya Tuhan tidak adil? Ironis jika pemahaman itu dibiarkan liar mempengaruhi pemikiran kita. Adanya banyak orang yang berusaha dan berdoa keras untuk hidupnya lebih baik, memperoleh kehidupan yang lebih banyak, tapi tetap diijinkan untuk berjuang hidup memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa Tuhan salah? Ada banyak yang mempengaruhi, hidup diluar kita yang tidak membuka kesempatan memperolehnya. Keadilan, kejujuran, belas kasihan dan kearifan juga perlu dimiliki orang-orang disekitar kita untuk melihat apa yang diharapkan oleh Sang Pencipta bagi sesame manusia. Lantas mengapa Tuhan tidak memusnahkan manusia yang serakan dan berbuat jahat? Itu tetap menjadi rahasia Tuhan.

Lebih parahnya, jika kita tidak mau berusaha dengan keras dan tidak mau berdoa dengan keras. Pada jaman yang serba instan dan dipengaruhi budaya mcdonalisasi dengan mengharapkan segala sesuatu tersaji dengan cepat tanpa adanya usaha. Masih diperlukan doa dan usaha keras untuk melakukan yang terbaik daam hidup ini. Kalau ada ungkapan yang mengatakan, “untuk mencapai sukses, yang menentukan bakat 10% dan usaha keras 90%” Bagaimana kalau keduanya kita serahkan dalam doa?

Selamat Manchester United, Anda layak dapat bintang!!! Untuk Chelsea bukankan ada menit-menit pertandingan yang lain?
sumber foto:

Monday, May 9, 2011

Kopi Ulee Kareng dan Gorengan Oro Oro Ombo di Hujan Bulan Mei

Hujan yang menurut saya over dosis ini membuat Kota Wisata Batu semakin dingin. Cuaca itu menimbulkan rasa ingin makan yang entah berasal dari perut atau mulut untuk makan tempe dan pisang goreng. Hujan ditembus untuk sekedar memuaskan keinginan mengunyah dua macam cemilan yang kaya minyak yang dijual lima ratus rupiah sebiji.

Teringat buah tangan seorang teman dari Aceh, ya kopi Ulee Kareng. Jadilah sore ini dinikmati bersama gorengan yang saya beli dari desa sebelah dan kopi Ulee Kareng yang berasal dari belahan barat Indonesia. Dua jenis makanan dari daerah berbeda, tapi membuat sore ini cukup hangat dan nyaman. Entah berapa orang penduduk Kota Wisata Batu yang tidak bisa merasakan seperti yang saya rasakan sore ini. Hujan, dingin, dan ingin makan tentu tidak bisa dipuaskan hanya dengan datang ke alun-alun Kota Wisata Batu seharga 12,7 milyar rupiah. Urusan perut lapar dan alun-alun memang tidak ada kaitannya. Tapi berharap adanya alun-alun yang diresmikan dengan perayaan bertajuk “Moment Spektakuler” sebagai moment kebangkitan ekonomi masyarakat Kota Wisata Batu juga tidak ada salahnya. Ini bergantung pada dari mana saya, Anda, dan Mereka melihat itu semua.

Sudut pandang boleh berbeda, tapi paling penting tujuannya sama, itu saja. Pemerintah dan seluruh stakeholder Kota Wisata Batu boleh saling berbeda satu dengan lain dalam melihat alun-alun baru ini, yang penting masyarakat tetap mendapat kesempatan menerima manfaatnya.

Thursday, April 7, 2011

Susur Sungai Kahayan

Menyusur Sungai Kahayan dengan menumpang kelotok (perahu) pengangkut kangkung dan ternyata menambah pengalaman baru Minggu (27/03/2011). Jembatan Kahayan menjadi tetenger kota Palangkaraya. Jembatan dengan panjang 640 m dan lebar 9 meter dibangun 1995- 2001. Kelotok atau perahu yang biasa digunakan melintas di Sungai Kahayan ternyata rata-rata mesin motor penggeraknya kalau dilihat mereknya diketahui buatan China. Langit Minggu pagi yang masih menina bobokan penghuni DAS Kahayan yang memiliki panjang 250 KM. Kehidupan sungai pagi sudah dimulai dengan ritual yang relatif sama dilakukan oleh manusia dimana saja, yakni ke WC.

Sebuah toko yang menyediakan kebutuhan pokok penduduk Sungai Kahayan. Mulai pangan sampai kebutuhan kamar mandi. Meski aktifitas MCK di satu tempat dan air yang sama, peralatan mandi juga harus yang berlabel sama dengan yang ada di televisi.


Ini model peternakan di DAS Kahayan. Ikan punya keramba, merpati dan ayam punya kandang.





Sarana angkutan air untuk perabot rumah tangga lebih murah dari pada lewat darat.


Ramai lalu lintas air Sungai Kahayan disediakan stasiun pengisian bahan bakar untuk kendaraan air.

Wednesday, April 6, 2011

Wahyu dan Mamaknya

Kita punya banyak pengalaman masa lalu untuk diceritakan, tapi anak-anak memiliki masa depan untuk diperjuangkan.





Cuaca panas menghentikan perjalanan kami menggunakan motor jenis trail di warung pinggir jalan kawasan taman wisata Gaul di Palangkaraya. Warung semi permanen terbuat dari kayu isi dengan berbagai makanan dan minuman ringan dalam kemasan plastik dan botol. Pilihan saya jatuh pada kelapa muda yang tersaji dalam gelas.


Seorang anak, yang mengaku nama panggilannya Wahyu berbicara dengan Peter menggunakan bahasa Dayak . Berusaha memahami isi pembicaraan ternyata ia menawarkan biawak hasil tangakapannya di rawa-rawa belakang warung. Ia anak pemilik warung itu. Karena terbungkus karung plastic, saya tidak bisa melihat rupa hewan tangkapannya. Menurut pengakuan pemilik nama lengkap Wahyu Supriadi ini berumur 11 tahun. Kegiatannya hanya bermain di rawa-rawa belakang warung tempat ibunya berjualan sekaligus tinggal. “Saya hanya sekolah sampai kelas empat, karena sering pindah-pindah ikut orang tua mencari nafkah” kata Wahyu. Rupanya orang tuanya harus pindah-pindah dengan membangun warung baru demi mencari penghasilan dan bertahan hidup. Jarak perpindahannya tidak jauh, hanya dalam wilayah satu kecamatan Bukit Batu.


Menurut Pemerintah Kota Palangkaraya , kecamatan Bukit Batu luasnya 572,00 Km. Bisa jadi perpindahan dalam satu wilayah kecamatan jaraknya jauh. Memang maksud hati orang tuanya bagus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi pendidikan Wahyu terabaikan. Wahyu pada usia harus sekolah terpaksa tidak sekolah karena tiada saran transportasi yang menjangkau sekolah lamanya dan disekitarnya tidak ada sekolah. Namun semata-mata tidak ada sekolah, tapi perjuangan orang tuanya untuk mempertahankan hidup berdampak pada masa depan Wahyu. Sungguh kehidupan yang rentan.


Coba kita perhatikan diagram dibawah ini. Situasi yang rentan lebih dimampukan dengan adanya program ekonomi yang jelas memampukan orang tua Wahyu dan mungkin orang tua lainnya. Secara fisik mereka anak yang gisinya cukup. Palangkaraya berlimpah ikan dan sayur rotan konon memiliki kandungan protein yang tinggi. Paling tidak sejak kecil mereka sudah mengkonsumsi makanan itu. Tidak ada yang salah dengan nutrisi mereka. Situasi Wahyu dan Wahyu lainnya harus ada yang memikirkan. Impian saya disana banyak lahan yang bisa digunakan sebagai lapangan bola, kita dididik mereka dengan berbagai pengetahuan dan sepak bola. Berharap dari Palangkaraya lahir pemain sepak bola tangguh. Ayo Kak!!

Monday, April 4, 2011

Aceh, Mulai Resto Sampai Kaki Lima

Tidak telalu lama, hanya seminggu menginjakkan kaki di Aceh. Kapan pastinya saya ke Aceh juga tidak terekam dengan baik. Tapi yang pasti hari kedatangan saya bersamaan dengan Hasan Tiro pulang kampung pertama kalinya. Lautan manusia menanti kedatangan sosok yang dijulik Wali Aceh.

Ingatan terhadap Aceh bukan hanya itu saja. Tempat-tempat yang menyajikan makanan di Aceh juga menimbulkan kangen. Saya coba mengingat, meski tanpa klasifikasi yang jelas. Mulai yang resto, sampai kelas kaki lima.

1. Padang Bunda. Rumah makan Padang yang konon masih satu pengelola dengan Pante Pirak ini harganya selangit, tapi terbalas dengan cita rasa yang disajikan.
2. Resto Banda. Satu lagi rumah makan yang harganya selangit, tapi kepiting saus aceh rasanya ‘ciamik soro’. Kalau bisa makannya rame-rame. Maksudnya biar ringan memikul tagihannya.
3. Sate Matang. Di pusat makanan Rex, depan Hotel Medan dapat ditemui. Sate matang bukan berarti ada sate yang mentah. Matang adalah nama daerah di Aceh.
4. Mie Kepiting. Tempatnya masih sama, di Rex, tepatnya pojokan Pace Bene.
5. Ayam Tangkap. Secara cara masak seperti ayam goreng biasa. Tapi ada beberapa bumbu yang sengaja tidak dihaluskan dan daun jeruk digoreng. Hasil akhirnya daun jeruk berasa seperti kripik. Jangan kaget ukuran potongannya kecil-kecil. Mungkin satu ekor dipotong jadi 30-40.
6. Kopi Taufik, daerah kampung Mulia. Sering saya kunjungi karena kantor saya di Aceh juga daerah kampung Mulia. Relatif sama semua kopi Aceh. Sebenernya ada juga satu yang pernah saya kunjungi beberapa kali. Namanya Pocut Baren, patokannnya dekat GPIB. Sambil ngopi, cemilan andalan roti srikaya dan tak ketinggalan bisa menikmati aksi barista menyajikan kopi.

Yang terakhir ini bukan saja tempat minum kopi dan nongkrong. Tapi banyak hal yang dibicarakan oleh mereka. Mulai dari hal yang bersifat pribadi, bisnis, sampai keurusan politik.Mungkin kalau lebih lama disana saya bisa merekomendasikan makanan yang lain.