Wednesday, December 18, 2013

Jengkel Tak Beralasan

Merasa jengkel karena lawan bicara tidak acuh ketika menyapa pasti bukan saya saja yang pernah merasakan. Tolong beritahu saya bila Anda tidak pernah mengalami perlakuan tersebut. Suatu waktu saya pernah pergi ke jasa cuci pakaian di daerah Proklamasi. Mas pemilik jasa cuci setrika baju tak ada ditempat seperti biasanya. Yang ada hanya seorang ibu yang sibuk setrika baju dan seorang anak yang sedang bermain. Setelah menyelesaikan urusan dengan si anak kecil, lantas saya pamit dengan menyampaikan kata terima kasih ke mereka berdua. Si anak menjawab dengan santun, “silakan Pak, sama-sama terima kasih”. Namun tidak dengan si Ibu, yang hanya melirik tanpa sepatah kata terucap. Dalam hati saya, mungkin dia tidak dengar. Tapi mana mungkin, suara saya cukup keras menyapa. Atau dia sedang ada masalah pribadi, tapi entahlah itu bukan urusan saya, terpenting saya tetap menyapa. Bagi saya jengkel pasti, tapi entah karena saya merasa diacuhkan atau saya sendiri sedang dalam masalah hehehhe.

Selang beberapa bulan, suatu malam saya berjanji akan mengambil cucian lewat jam operasional dan minta tolong ke si Mas pemilik untuk bisa saya ambil karena ada beberapa lembar pakaian yang harus saya gunakan saat di luar kota keesokan hari. Ketika di pintu masuk kios seukuran tiga kali empat meter saya melihat si Ibu yang beberapa waktu lalu tak acuh ke saya sedang sibuk menyelesaikan baju-baju saya. Saya utarakan maksud kedatangan saya kalau akan mengambil baju, tapi kalau belum selesai saya akan tunggu, jadi silakan diselesaikan saja tidak masalah. Saya langsung terkaget ketika ia menjawab dengan tidak jelas dan tersadar kalau si Ibu ternyta tuna wicara. Saya coba tangkap masudnya kalau sebentra dia sedang selesaikan pakaian saya.

Selama ini saya menilai berdasarkan pengalaman perjumpaan pertama dengan dia, bahwa dia tak acuh dengan saya. Tapi dibalik itu ada situasi yang tidak saya mengerti. Ini pelajaran penting bagi saya untuk tidak bergeges menilai seseorang tanpa mengenal lebih dalam. Menilai salah akan bersikap salah juga. Saya mulai paham dengan cara ia berkomunikasi. Sungguh mulai pemilik jasa pencucian yang berkenan memberi ruang bagi difabel untuk tetap berkarya. Ternyata saya selama ini sempat jengkel yang tak beralasan. Pernahkan Anda mersa jengkel tapi tanpa alasan?

Manusia dan Lengan Perkasa Juga Butuh Istirahat

Kalau ada yang bilang sabar itu ada batasnya, mungkin bisa juga ada ungkapan kekuatan itu ada batasnya. Kalau menurut saya warga Jakarta pengguna kendaraan umum seperti kereta api listrik yang kerap disebut commuterline atau CL adalah manusia perkasa. Tidak laki-laki saja, perempuan pengguna  CL menurut saya layak disebut sebagai sosok yang perkasa. Keperkasaan itu muncul bukan tanpa alasan, tidak mengenal jenis kelamin bahkan usia harus berjuang kurang lebih satu jam dalam himpitan gerbong yang penuh sesak penumpang.

Himpitan dengan penumpang lain semakin menjadi beban ketika pendingin tidak berfungsi. Posisi berdiri yang tidak dalam posisi tidak baik bisa jadi masalah. Entah posisi telapak kaki kanan di sebelah mana, tellapak kaki sebelah kiri di sebelah mana. Kadang untuk kemudian mengubah posisi untuk lebih baik dan kuat berdiri dengan memindah posisi salah satu kaki juga sulit. Saking padatnya.
Alasan lain yang membuat saya menyebut pengguna CL perkasa dalam hal ketahanan menahan goncangan. Goncanyan bukan semata lintasan rel yang tak rata, tapi kadang saat berhenti atau mulai jalan membuat isi kereta bergoyang dan memberi efek domino bagi seisi kereta. Pengguna CL yang duduk bukan berarti dalam bilangan perkasa. Mereka juga haru berjuang menahan panas dan kadang menahan bau dari angin yang lepas hehehe.

Commuter line yang menghapuskan kelas AC dan Non AC menjadi pilihan kelas pekerja dari kawasan Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi ke Jakarta. Selain murah, PT. KAI sebagai pengelola CL menggunakan sistem tiket elektronik yang bisa diisi ulang. Ada cerita unik lain dari penggabungan kelas AC dan Non AC yang juga beda harga.

Ketahanan fisik bukan hanya diuji dalam betis yang tegang menahan berat tubuh selama perjalanan, namun juga lengan dan bahu yang juga turut bekerja sama dengan berpegangan pada besi, tali pegangan yang disediakan, bahkan banner iklan promosi yang kerap terjuntai menggantung bisa jadi pegangan. Untuk tetap tahan sampai akhir perjalanan kerap harus bergantian antara tangan kanan dan kiri. Jika tangan kanan lelah, tangan kiri bisa sebagai pengganti.


Manusia hidup untuk berjuang dan tetap perkasa. Namun ada saatnya juga manusia merasa lelah dan butuh istirahat. Atau berganti dari rutinitas setiap hari. Bayangkan kalau saya harus pegangan dengan salah satu tangan, rasanya linu. Apa hidupmu sudah diberi ruang untuk istirahat dan berganti sejenak dari rutinitas tiap hari? Selamat mengambil jatah cuti dan libur akhir tahun.

Tuesday, August 6, 2013

Love is all, it gives all, and it takes all.




Sore itu langit Jatinegara tersaput awan, membuat sore teriring sejuk di pertengahan ramadhan ini. Membuat perjalanan ke rumah sakit ini menjadi lebih nyaman untuk temui seorang kawan. Salah satu bangku dari empat bangku yang mengapit meja saji sebuah kantin di lantai dua rumah sakit ibu dan anak di bilangan jatinegara duduk pria seusia dengan saya. Di atas meja cangkir berisi teh yang tinggal setengah, tas wanita yang menandakan dia tidak sendiri dan laptop yang aktif. Guratan wajah lelah dan kurang tidur nampak dari sosok ini. Sebut saja laki-laki ini sebagai Marhein, mirip memang namanya dengan anak saya Jeyson Marheins Prasetyo. Setelah berjabat tangan, saya disilakan duduk dan menjawab pertanyaan pembuka tentang kabarku yang disampaikannya.

“jadi sekarang kondisi anak gimana Mas?”, tanya saya

“sekarang sudah lebih bagus dari sebelumnya, sudah gerakkan tangan”, sahutnya

“sakitnya adik apa sih?” tanya saya ingin tahu

“istilahnya MSUD, jadi sistem dalam tubuhnya jadi terganggu, gak normal kadar keasaman darahnya tinggi”

“perawatannya gimana Mas?”

“ini masih masih harus lewati pemulihan sampai harus keluar RS”, urai Marhen

“Mmmmm” gumamku sambil berusaha menahan rasa ingin tahu.

Beralasan aku tidak tanya lebih banyak. Hari itu adalah hari ke 16 bagi Janisa dirawat di  Neonatal Intensive Care Unit – NICU sebagai ruang khusus perawatan bagi anak yang baru lahir. Tentu banyak kerabat dan handai taulan datang menjenguk, menanyakan kabar dan membutuhkan penjelasan. Saya tidak mau menjadi beban lagi di tengah raut lelahnya bersama istri menemani adik dengan pertanyaan yang sama.

MSUD akronim dari Maple Syrup Urine Disease. Menurut The MSUD Family Support Group , MSUD adalah gangguan metabolik yang diwariskan. MSUD bisa akibatkan keterbelakangan mental, cacat fisik, dan kematian. Gejala gangguan tersebut pada tahun 1954 bisa terjadi pada etnis apa saja dengan perbandingan 1 kasus pada 225.000 kelahiran.

Hasil diagnosa di Australia, ditemukan Janisa yang belum genap berusia satu bulan ini secara metabolisme tidak maksimal mengolah protein dalam tubuh. Lho, bukannya sumber makanan bayi hanya lewat susu dan itu mengandung protein. Saya teringat pada kisah supir taxi yang bercerita bahwa dua keponakannya di daerah Malang Selatan meregang nyawa karena minum ASI Eksklusif. Kemudian anak ketiga tidak minum ASI. Saya sempat sulit masuk diakal ASI bisa membuat anak mati. Baru sadar saja kalau saat saya menulis ini bertepatan dengan Bulan ASI Nasional.

Apa itu hal yang sama terjadi dengan Janisa? Disfungsi protein sebagai enzim untuk katalisator metabolisme mengakibatkan keasaman darah menjadi tinggi berdampak pada kinerja liver dan organ lainnya yang membuatnya terlelap. Hingga akhirnya harus dirawat dalam ruang khusus dibawah pengawasan Dr. dr. DamayantiRusli Sjarif, Sp.A(K). Tubuh mungil sesekali mengangkat tangan hanya bisa kulihat dari balik dinding kaca ditempeli selang dan entah apa lagi yang menghubungkan dengan sebuah kaca monitor untuk memantau kondisi tiap waktu. Asupan makanan diperoleh dari susu khusus yang didatangkan dari Inggris.

Janisa anak kedua dari pasangan ini. Kalau ini sebuah hasil warisan ada kemungkinan sang Kakak atau orang tuanya memiliki kecenderungan seperti itu. Perlu dilakukan observasi untuk antisipasi. Tapi ini sepertinya bukan saat yang tepat untuk bertanya, atau bahkan tepatnya menggurui. Ibaratnya sudah teriris harus tersundut api. Tidak mau menjadi beban lagi. Secara fisik jelas lelah menunggu di rumah sakit. Biasa tidur di kasur dan meluruskan badan tapi harus menunggu di sebuah sofa atau meja kantin seperti saat kami bertemu.

Ibaratnya seperti standar keamanan penerbangan jika mengalami gangguan penerbangan dan harus mengenakan alat pernafasan, yang tua harus pakai dulu baru kemudian anak kecil. Tujuannya agar orang tua bisa menolong anak. Demikian juga pasangan yang sedang berjuang hadapi realitas ini juga akhirnya mengambil sebuah kamar kost di sekitar rumah sakit untuk sekadar meluruskan badan atau membersihkan badan mengingat rumah mereka jauh. Perawatan di NICU memang dalam pengawasan ketat tenaga medis dan memungkin orang tua meninggalkan rumah sakit. Jika ada yang penting dan membutuhkan persetujuan tindakan bisa di telepon dan datang. Saya bisa pahami jika alasannya lintasi jalanan Jakarta dengan cepat tidak berbanding lurus dengan kebutuhan penanganan.

Saya hanya bisa menduga 16 hari di NICU kelelahan lain juga akibat memikirkan kantong yang harus dirogoh dalam. Saya sempat yanya berapa satu hari di NICU. “Sekitar 6 jutaan kalau tidak ada tindakan, pernah tembus belasan Mas” kata Marhen. Jadi bisa dikalikan sendiri dalam batinku.  Bagi saya ini pertemuan yang menarik dalam mengupayakan cinta untuk anak. Untuk anak jangan coba-caba kata sebuah iklan. Ini bukan perkara latar belakang kemampuan ekonomi keluarga. Saya tidak bisa menakar itu. Kalau tidak diukur dari kepemilikan mobil banyak juga yang punya tapi secara ekonomi tidak mantap. Ada yang hanya naik motor dan kereta tapi tabungan deposito dan sawahnya luas. Saya melihat ini semua sebagai love is all, it gives all, and it takes all.

“Kalau pas lagi seperti ini masih bisa lihat kuasa Tuhan gak Mas?” pertanyaanku terakhir sebelum aku pamit.

“Tuhan kelihatan besar sekali Mas”, jawabnya mantap

Ada yang bilang kalau tidak ada masalah besar atau masalah kecil dalam hidup ini. Kalimat itu memiliki kesan absurd dan tidak jujur. Tapi itu seharusnya tidak berlaku bagi yang percaya Tuhan. Tidak ada masalah yang lebih besar dari pada Tuhan. Tapi di mana keadilan Tuhan jika anak yang kita kasihi harus berjuang dengan sakit? Doa tidak mengubah sikap Tuhan, tapi ini mengubah sikap hidup bagi yang berdoa kepadaNya. Ini juga berlaku bagi kita dalam mendaraskan doa bagi kesembuhan Janisa

Wednesday, July 24, 2013

Guru Muda Yang Berkarya



Hari ini sempat bicara dengan Jeyson tentang sekolah barunya. Seragam baru, lingkungan baru. Kata Jeyson di sekolah banyak guru yang masih muda, beda dengan guru di sekolah-sekolah terdahulunya. Malah ketika di TK guru yang akrab dipanggil Bu Mar seusia Eyang Putri di Surabaya. "Muda seperti ayah bukan eyang putri, malah ada yang lebih muda lagi" kata Jeyson. Dalam hati saya mengamini, mungkin raut saya kalau ada cermin saat itu nampak berbinar karena masih kategori muda menurut Jeyson.

Bagi saya yang menarik  dengan keberadaan para pendidik muda seperti kata Jeyson. Terlepas dari tidak ada pilhan lain untuk bekerja atau memang pilhan bekerja sebagai seorang guru. Ada beberapa faktor menurut saya membuat orang jatuh pilhan menjadi guru mengingat dulu ada istilah guru tanpa tanda jasa. Jadi guru adalah pengabdian kurang lebihnya kalau saya terjemahkan begitu. Harus memiliki integritas, harus punya beban dan tulus seperti layaknya pilihan menjadi seorang jurnalis atau rohaniwan. Pilihan itu harus dibarengi sikap itu, jika tidak bisa dibayangkan misalnya rohaniwan bisa gadaikan ayat suci demi memperkaya diri, memberi informasi yang tendensius atau melukai orang lain.

Pertemuan saya dengan beberapa pengajar sepertinya sekarang mulai serius ditekuni, tak tanggung-tanggung ada yang mendalami studi kependidikan sampai luar negeri. Perdalam ilmu hingga luar negeri bukan hanya ahli ekonomi, atau kalau meminjam istilah Benyamin S. dalam sinetron Si Doel  Anak Betawi  dengan Tukang Insinyur untuk sebutan sarjan tehnik, tapi juga ilmu kependidikan dalam semua tingkat.

Menjadi agen perubahan bisa lewat banyak jalan. Kalau tahun 1998 pemuda dan mahasiswa meneriakkan reformasi untuk demokrasi politik. Mungkin sudah saatnya sekarang setelah 15 tahun reformasi dengan sebagai agen perubahan dalam pendidikan.  Mau disambut gembira dan optimis atau nyinyir, tapi dalam Kompas, 9 Juli 2013 : 69,4 persen lulusan SMA pilih jadi guru. Pertanyaan berujung pada atas dasar apa mereka memilih belajar dalam bidang pendidikan? Apa tergiur tunjangan? Padangan selalu ada pro dan kontra, ada yang menilai subyektif. Tapi inilah ruang umum, bisa bicara apa saja untuk membangun kebenaran obyektif untuk hidup bersama. Seorang kawan saat ini menjadi kepala sekolah  yang dapat dibilang keren dan maju di salah Jakarta Barat pernah bertutur kalau awalnya memang menjadi guru, tapi ketika akan menikah pindah kerja di salah satu perusahaan consumer good. Alasanya simple, untuk meyakinkan mertua karena jadi guru gajinya kalah dengan pekerja di perusahaan. Setelah lima tahun bekerja di bagian riset dan pengembangan dengan posisi senior, akhirnya memilih kembali ke profesi awal sebagai guru sampai sekarang menjadi kepala sekolah. Itu dengan catatan seijin mertua. "Kalau sudah jadi panggilan kagak ada yang lawan deh", kata kawan seorang guru yang berlatar belakang sarjana fisika itu. 

Saya optimis kalau mereka yang memilih pendidikan guru akan menjadi agen perubahan lewat pendidikan. Ada yang bilang integritas dan ketulusan sebagai pendidik tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, sama seperti lirik lagu DEWA 19, “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, beri aku sedikit waktu biar cinta datang karena terbiasa”.

Pembicaraan terakhir dengan Jeyson yang paling penting yakni, “Pak, di sekolah ada lapangan basket dan lapangan bola yang luas”. Jawabku singkat, “Oh gitu ya? Enak dong puas main bola, jangan lupa kalau sudah jam masuk kelas ya” Pada dasarnya manusia adalah ‘homo educationis’, yaitu makhluk yang bisa untuk dididik dan bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi lain, baik dalam hal kebiasaan, cara berpikir, selera, dan lain‐lain. Ketika pada nanti di tenagh jalan ada sesuatu yang mengganggu perjalanan pendidik yang jumlahnya 69.4 persen dari lulusan SMA, ada peran penting yang penting dari kita semua untuk ingatkan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak kita.

Apa kamu yang muda ingin jadi agen perubahan lewat pendidikan anak-anak Indonesia?

Tuesday, June 25, 2013

Seharusnya Tidak Permisif dengan Typo



Kalau sering akses media sosial sekali akan menemui istilah typo. Typo berdasar  kamus  didefinisikan sebagai an error (as of spelling) in typed or typeset material, kurang lebih dapat dipahami sebagai salah tulis atau salah ketik. Misalnya, tawuran ditulis tauran, perform ditulis preform, insect ditulis incest. Pernah suatu kawan di tempat saya bekerja mengingatkan dengan bercanda berkaitan dengan tugas saya sebagai treasurer, Pak Joe jangan salah tulis fifteen jadi fifty nanti bisa salah transfer.

komentar kawan saya ini mungkin salah satu penyebab tawuran terus jalan :)
Di dunia yang serba cepat dan kompetitif ini berapa sering kita membuat kesalahan dalam tulisan? Jika produksi berita sebagai profitable product seperti yang digadang pemilik media, kecepatan jadi stimulan untuk menghasilkan informasi yang bisa diakses oleh khalayak. Verifikasi terhadap data bisa dilakukan, untuk memuat seluruh aspek berita bisa dilakuakn dalam berita lainnya, demikian seperti yang ditulis A. Sapto Anggoro dalam buku Deticom. Proses produksi berita dalam era internet yang mendukung kecepatan juga berubah ungkap Mark Cooper dalam Media Ownership and Democracy in Digital Information Age

Untung saya minum pil sabar :)
Salah tulis dampak yang paling kentara adalah geseran kandungan makna dari makna seharusnya. Keraguan salah tulis ditambah dengan banyak kata serapan dari bahasa asing. Salah tulis nama atau gelar konon bisa menimbulkan perselisihan. Seorang kawan dari salah satu etnis pernah sampaikan dengan bercanda, kalau tulis salah kurang satu huruf di kampungku bisa jadi prahara. Lain cerita lagi dengan satu kawan dari Korea yang akan terbang bersama saya dengan maskapai domestik. Beberapa hari sebelum perjalanan, saya kirimkan itinerarydan tiket elektronik selama melakukan perjalanan dengan saya di Indonesia. Tak lama reply email balsan masuk ke inbok, I think you typo in my name on the ticket, many letter L. Segera saya hubungi travel agen tempat saya pesan tiket untuk revisi nama, jawaban menenangkan muncul dari ujung telepon, “kalau domestik salah satu huruf dari nama di passport tidak masalah”.

Typo secara fungsional bisa dimaknai bermacam-macam. Ada konsistensi yang harus dipegang teguh, ada permisif yang diijinkan terjadi.


So, apa masih mau typo terus?

Wednesday, May 8, 2013

9 Summer 10 Auntum. Film Yang Tak Membuat Hati Gampang Panas dan Gugur di Pertempuran



Berawal dari kicauan seorang kawan yang bertanya melalui akun twiter saya, “Mas, kalau kangen Panderman dan Arjuno silakan nonton 9 Summer 10 Auntum”. Setelah memastikan film itu cukup layak ditonton oleh anak-anak, saya putuskan jam empat teng pulang untuk jemput Jeyson dan Gadis. Dari sinopsis dan komentar melalui timeline sepertinya memiliki nilai edukasi dan ramah anak.
Film adaptasi dari novel kisah nyata tulisan @Iwan9S10A itu sebagaian berlatar belakang di Batu – Jawa Timur, kota kelahiran pemilik nama asli Iwan Setyawan. Iwan kecil seperti anak-anak pada umumnya, pernah rasakan takut ke sekolah, berantem, juga jatuh cinta.

Tekanan ketika akan melanjutkan kuliah di IPB – Institut Pertanian Bogor, bukan Institut Perkreditan Batu justru malah datang dari bapaknya. Alasa klasik, satu-satunya anak laki pewaris usaha orang tua sebagai sopir angkot. Sekeras-kerasnya orang tua tentu untuk kebaikan anak, sang bapak yang diperankan Alex Komang akhirnya luluh dan mendukung dengan menjual satu-satunya sumber mata pencarian, angkot Mitsubishi L 100. Akhir cerita dan seperti kisah nyata, Iwan alias Bayek memiliki prestasi dan keberuntungan dengan menduduki jabatan penting di Nielsen Consumer Research, New York.

Untuk sampai mendapat ganjaran itu, Iwan bukan tanpa hambatan. Ada kegelisahan, ada kemarahan dan ada keberanian. Keberanian untuk hadapi kehidupan. Jatuh bangun itu biasa, tapi bangkit dan terus berjalan itu luar biasa. Iwan kecil tidak bisa memilih masa kecil, tapi bisa menentukan masa depan. Hati tidak gampang panas dan tidak mudah gugur di pertempuran hidup ini akan menuai hasil diakhir.
 

Ending cerita berakhir manis, tapi paling tidak saya, Jeyson dan Gadis bisa belajar bahwa hidup ini tidak seperti film yang harus ada jalan keluar. Film ini bisa menjadi penawar rindu bagi kami melihat indahnya Kota Batu. Kota tempat kami tinggal sebagai keluarga selama empat tahun. Bingkai film berlatar jalan depan Toko Luxor, Klenteng di depan BCA Batu, SD Ngaglik, SMU 1 Batu dan Pasar Besar Batu, memanggil ulang ingat kami. Ada cerita manis bisa melewatkan waktu bersama dan tuntutan tidak sepadat di Jakarta. Tiap akhir pekan bisa lewatkan waktu bersama, entah menyusuri pepohonan di lereng Gunung Panderman, tempat wisata yang bertebaran di Kota Batu, atau sekedar jalan pagi menghirup udara pagi. Ada juga cerita pahit saat kami tidak bisa keluar rumah karena harus mengalah dengan pelancong yang datang tiap akhir pecan dan masa libur panjang. Keluar komplek rumah antrian kendaraan ke arah Batu Night Spektakuler sudah memanti. Jadi apa kalian sudah nonton 9 Summer 10 Auntum?