Mata berbinar ria ketika melihat kain bertuliskan “Tahu
Campur & Tahu Tek Lamongan” sebagai penutup warung tenda ala pedagang kaki
lima di bilangan Jl. Balai Pustaka Timur. Makanan yang sering saya temui di
Surabaya, bahkan tiap hari lewat depan rumah.
Selang tidak lama setelah saya pesan dan sedikit memberi
info tambahan dalam bahasa khas Jawa Timur, “Mas, pedes gak nggawe endog” (pedas tanpa telor). Sepiring tahu
tek, terdiri dari potongan lontong, tahu dan kentang goreng, dressing kacang campur petis, bertabur taoge
dan kerupuk. Sepintas mirip dengan Ketoprak,
perbedaan paling mudah untuk mengenali darinya dari warna dressingnya, tahu tek berwarna hitam karena dicampur dengan petis. Selain
terbuat dari udang, kupang, ikan, konon ada juga petis terbuat dari sapi.
Beberapa makanan tidak pas tanpa ada petis, seperti tahu, ote-ote sampai
kerupuk. Petis seperti penyedap rasa untuk beberapa makanan. Tak jarang ketika
beli tahu petis, dan masih ada sisa petis disimpan di kulkas untuk suatu saat
untuk makan krupuk hehehehe. Rasanya enak tak kalah dengan langganan saya di
Surabaya dan harganya Rp 9,000. Kalau pakai telor mungkin beda Rp 2,000.
Tahu tek ini memang popular di Surabaya, beberapa penjual
berasal dari Lamongan atau Sidoarjo. Selain dijual keliling gang perkampungan dan
perumahan, ada juga yang tahu tek yang rasanya lumayan enak. Satu di Raya Baratajaya
samping Hotel Narita, satu lagi di Dinoyo tepatnya di depan Suzana Bakery. Ini
tempat artis makan tahu tek, terbukti dari foto H. Ali, pemilik warung dengan
beberapa artis ibu kota.
Kami di rumah Bratang - Surabaya punya langganan tahu tek. Biasa kami
panggil Pak Boski. Dia biasa lewat rumah diatas jam sembilan malam dengan
gerobak hijau muda dikombinasi putih. Mengapa kami panggil Pak Boski, kadang
dia agak kurang bisa dengar baik pesanan. Identik dengan bos-bos yang tidak
suka mendengar. Awal jadi konsumen langgannya pernah salah, tanpa telor diberi telor,
Lombok empat dikasih dua. Tapi karena bumbunya least dan tidak pelit dressing, saya coba pesan dengan
ditambah bahasa isyarat dan konfirmasi ulang apa yang telah saya pesan. Saya
juga sarankan dia juga lakukan yang saya, konfirmasi ulang ke tiap pelanggannya
apa yang jadi pesanan supaya tidak salah. Kalau yang pesan lagi waras bisa
maklum, tapi kalau lagi kumat, entahlah. Saking idolanya dengan pak Boski,
kalau pas saya ke Surabaya, Mama selalu tawarkan dan ingatkan menjelang jam-jam
di mana ia akan lewat. Pedagang tahu tek di Surabaya untuk memudahkan pelanggan
mengetahui kalau sedang lewat menggunakan tanda dengan cara memukul wajan.
Kadang ketika semua orang sudah terlelap dan jalanan sepi suara benturan antara
besi pemukul dan wajan tidak bisa dibedakan antara memberi tanda kalau sedang
lewat atau akan bangunkan orang tidur. Kabarnya di sejumlah komplek perumahan
di Surabaya sudah dilarang masuk karena ada yang terganggu tidurnya. Kalau saya
tidak masalah terganggu, habis makan tahu tek kenyang langsung balik lagi
tidur, halah…
Keterbatasan mendengar bukan berarti harus tinggal duduk
diam berharap pertolongan orang lain. Masih ada usaha yang bisa dilakukan,
seperti Pak Boski. Pak Boski ini berawal dari sebuah gurauan saya dengan @dinardwim,
tapi ini harapan ke depan Pak Boski bisa benar-benar menjadi juragan tahu tek
dan menambah armada gerobak tahu tek. Semoga
tulisan saya yang berawal dari perasan senang bertemu dengan tahu tek ini bisa
memberi semangat ke teman-teman untuk melakukan yang terbaik dalam kesempurnaan
tubuh yang dianugerahkan. Salam
No comments:
Post a Comment