Ketika masih di Batu, kami sering berbagi dengan sesama kolega dari NTT. Diantara Stefen Ndoen, John Manuain dan David Ndoen kerap bersantap bersama dengan kami untuk menikmati makanan khas NTT. Menu mulai dari daging Se’I, ikan asin, jagung bose, jagung pulut rebus, sampai hanya sekedar jagung titi goreng. Makanan khas bisa jadi obat penawar rindu kampung halaman.
Sabtu, 11 Agustus 2012 jadi hari yang special. Selain bisa menemani anak-anak dan keluarga di rumah, ada yang special di menu sarapan pagi ini, yakni jagung bose. Jagung bose adalah jagung jenis pulut, bukan dari jenis hibrida. Jagung Bose adalah bulir-bulir pipilan yang telah dibersihkan dari kulit luarnya. Proses pembersihannya dilakukan dengan sederhana. Konon jagung direndam dulu, kemudian jagung ditumbuk dengan alu melalui wadah lesung hingga menghasilkan bulir-bulir yang bersih.
Setelah direndam semalam, bulir-bulir direbus bercampur kacang merah atau tanpa campuran. Proses merebus juga lumayan lama, kurang lebih dua jam. Bisa dinikmati dengan daging Se’i, dedndeng atau ikan asin tanpa sayuran. Hari itu tema menunya serba berbahan jagung dengan adanya jagung Titi. Jagung Titi lain lagi, dari jagung pulut yang dititi (pukul) hingga berbentuk emping.
Tahun 2011 saya sempat ke Kupang. Di perempatan dekat kantor dinas Gubernur dari arah El Tari ada baliho dari Gubernur –Wakil Gubernur menyerukan “Banggalah akan Pangan Lokal NTT”. Kabarnya seruan itu berhasil menganggakat pamor makanan lokal. Menurut cerita, salah satu kerabat yang pernah menjadi direktur Bank NTT juga menjadikan jagung rebus sebagai kudapan di meja kerja kantornya. Namun hal paradoks terjadi dengan harga jagung bose di pasar. Harga bisa menembus Rp 25.000 per kilo. Menurut keluarga yang sering kami minta untuk kirim dari Kupang, selain jarang ditemui dengan kualitas bagus di pasar, harga juga mahal. Harga itu tiga kali lipat harga beras kualitas bagus.
Dalam buku Ekspedisi Jejak Peradapan NTT – laporan jurnalistik Kompas, Viator Parera pengamat pertanian NTT berpendapat, Pemerintah Provinsi NTT sebaiknya fokus pada pengembangan pertanian yang cocok dengan kondisi geografis dan iklim di NTT.
Sering kebijakan pemerintah daerah kurang tepat. Sri Wahyuni, pengajar fakultas Pertanian Universitas Flores Ende menyontohkan, ketika pemerintah pusat mendorong penggunaan bibit jagung hibrida, tanpa kajian mendalam pemda langsung menerima dan menyalurkan ke petani. Padahal jagung hibrida membutuhkan banyak pestisida, pupuk kimia serta air.
Pantas, To’o (paman) Ama tidak terlalu suka ketika di Batu saya suguhi jagung manis yang konon membutuhkan perawatan khusus dengan pestisida.
Sisi lain dari susah didapatinya jagung bose, karena proses pembuatannya tradisional. Tidak bisa menggunakan mesin, harus menggunakan tangan untuk bersihkan jagung. Mungkin kalau tidak diupayakan jagung bose bisa hilang dari peredaran karena tidak ada yang produksi lagi. Okeylah kita boleh doyan makan, tapi perlu dipikirkan cara produksinya. Kalau terjadi rawan pangan, apa kita harus arahkan dengan makan raskin?
Adek Jo be suka dengan posting lu...! kata orang kuliner pak Bondan ......top markotop.....!
ReplyDeleteterima kasih Kaka :d
ReplyDelete