Ketidaksamaan perilaku kadang menimbulkan benturan. Mulai anggota
keluarga sampai masyarakat yang paling
luas semua tak sama. Anggapan untuk meenjadi yang paling benar, paling patut
dihargai dianatara sesama itu wajar. Tidak ada yang salah dengan itu, ya tidak
ada yang salah.
“you don’t know what
you don’t know” , kata seorang kawan dalam sebuah diskusi.
“jika demikian tolong bantu saya untuk bisa paham dan masuk
diakal saya letak ketidaktahuan saya”, timpalku
Berbeda pendapat dengan kawan sudah biasa. Apalagi berbeda
pendapat dengan pasangan, bahkan anak sekalipun. Secara asal usul rahim tempat
kita dikandung berbeda, jenis kelamin dan kesukaan juga berbeda.
Perbedaan pendapat saat ini mungkin eranya sudah mengijinkan
dan terbiasa bagi sebagian orang. Terlebih
adanya media sosial memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang terlontar tentang
sebuah subyek. Konon ini dianggap sebagai sebuah ruang publik untuk saling
bertukar ide, tapi entah bagi yang tidak sambungan internet ini dianggap ruang
publik atau tidak. Mungkin bisa saja kepedihan muncul karena kita dianggap
berbeda dan pada ankhirnya pendapat kita dipatahkan. Ada yang tahan rasa pedih,
namun ada juga yang tidak tahan pedih. Namun manusia sebagai mahluk ciptaan
Tuhan yang paling canggih ini memiliki akal budi dan kemampuan untuk berjuang.
Tergantung kuatnya kemauan untuk bangkit, belajar dari kesalahan masa lalu dan
rela mendapat saran dari pihak lain. Kadang kita butuh orang lain sebagai
penasehat atau mendapat second opinion.
Berperilaku di tempat umum juga kadang semua orang tidak
semua sama. Mungkin Anda semua pernah dibuat jengkel karena perilaku orang lain
di jalan raya, atau sebaliknya tanpa disadari Anda membuat orang lain jengkel
hehe. Suatu ketika pernah lampu perhentian di perempatan jalan Pemuda. Saya
berhenti dibelakang garis pembatas ketika lampu merah sangat nyata bersinar.
Maklum ini sebagai pengendara baru di ibu kota niatnya tertib. Eh tapi seorang bapak
menghampiri saya dan bilang, “bang maju sedkit saya mau maju”. Tanpa banyak pikir saya pun maju melewati
batas lampu lalu lintas dan kemudian sebuah angkutan umum berwarna orange dengan
suara mesin khas lewat disebah saya dan akhirnya langsung bablas menerobos perempatan dengan tanda lampu merah ketika jalanan
kosong. Jengkel? Pasti. Terguncang dengan perilaku orang lain yang tak sama? Pasti.
Tapi saya pernah lakukan itu, hingga akhirnya ditegur polisi juga, itu pernah
saya ceritakan disini.
Kejengkelan-kejengkelan itu berlanjut ketika saya mulai gunakan
moda transport commuter yang diserap
dalam Bahasa Indonesia menjadi Komuter. Commuter dapat dimaknai sebagai orang yg pulang pergi setiap hari untuk
bekerja. Mungkin karena kebanyakan pekerja di Jakarta ini, atau bahkan di
kota-kota besar lainnya para pekerja memilih tempat tinggal di kota sekeliling.
Jalur kereta komuter yang saya gunakan jurusan Bogor atau Depok – Jakarta Kota.
Dan kalau Anda pengguna atau pernah melihat tayangan moda yang semakin digemari
ini, jumlah penumpangnya selalu padat. Tak hanya Senin sampai Jumat, Sabtu dan
Minggu ketika saya harus ke kampus atau urusan dinas menggunakan komuter selalu
tak kebagian tempat duduk dan cenderung berdiri meski tidak sepadat biasanya.
Perkecualian kalau Anda naik komuter terakhir jam setelah jam 23.00 dari arah
Jakarta peluang untuk duduk terbuka lebar. Itu juga kalau beruntung.
Kembali lagi ke masalah beda perilaku. Penumpang yang beragam dan beda tempat model
kerja tentu beragam juga cara bersikapnya. Terutama dalam membangun kesadaran berperilaku agar semua bisa nyaman. Ada
larangan duduk di bawah , ternyata ada juga yang duduk di bawah. Ada larangan
makan dan minum di kereta seperti di luar negeri sana, tapi ya tetap ada juga
yang dengan ringan mengunyah tahu isi dan isinya tercecer.
Itu cara saya melihat yang tak seratus persen benar dan tak
harus menjengkelkan. Perjuangan di Jakarta ini memang membutuhkan stamina
lebih. Tak salah bila akhirnya di perjalanan tetiba diserang lapar, haus dan
lelah. Keterbatasan saya pahami perilaku itu tak seharusnya membuat jengkel.
Bukankah perilaku yang tidak sama itu seperti besi menajamkan besi yangakhirnya
juga membentuk saya? Satu lagi bantu saya untuk paham supaya saya bisa
memahami, belajar dan menyesuaiakan diri. Karena dengan menyesuaikan diri manusia dapat
bertahan tetap hidup. Kelakuan itu mungkin cerminan diri saya atau cermianan
negeri ini. Semoga kelakuan saya dan tulisan ini tidak menjengkalkan Anda
semua.
No comments:
Post a Comment