Sejak berkantor di Kwitang saya menyesuaikan dalam penggunaan moda transportasi.
Sebelumnya menggunakan bus Patas 84 atau 80
dengan waktu tempuh dua jam. Mulai 23 Oktober saya beralih menggunakan commuter line
sebagai moda transportasi ke Kwitang-Jakarta Pusat.
Naik commuter line dari stasiun Depok, turun di
Gondangdia dan jalan kaki 15 menit akan jadi rute saya tiap hari. Rute commuterline arah stasiun Kota ini lumayan favorit.
Sehinggad selalu penuh di jam berangka maupun pulang kantor.
Hampir setiap hari saya dan penumpang angkutan massal yang dibandrol harga Rp 8000
untuk rute Depok – Jakarta Kota berdiri sepanjang jalan. Bukan hanya berdiri, tapi rela berhimpitan dengan penumpang
lain guna masuk kantor tepat waktu.
Jumlah penumpang berangsur kurang ketika masuk stasiun Tebet, Manggarai, Cikini Gondangdia, Juanda dan seterusnya.
Jika beruntung, Anda bisa dapat posisi yang
nyaman dan tidak tergeser dengan penumpang lain. Namun seperti kebanyakan penumpang
yang lain, maka senggolan dan posisi kurang nyaman sering terjadi.
Entah karena rasa
solidaritas atau merasa tidak ada pilihan lain, maka senggolan itu dianggap wajar. Berdesakan seperti dalam foto dibawah ini kerap terjadi.
Bahkan situasi bertambah parah jika kereta menjelang berhenti atau jalan. Seisi kereta mau tidak mau harus ikut ayunan badan kereta.
Sering saya dalam posisi tidaktepat,
sudah berdiri dan mepet dengan penumpang lain posisi badan pun tidak benar.
Saat ayunan badan kereta yang bagi penumpang lain adalah bentuk cara mengendalikan kereta
yang tidak benar dan menyiksa penumpang. Inilah saatnya saya mengatur posisi badand an
kaki agar sejajar untuk bisas ampai di stasiun perhentian dengan baik.
Bayangkan kalau Anda berdiri dengan posisi badan terpelintir dan kaki terselip diantara
kaki kaki lain? Biasanya kita juga mengeluh saat dalam hidup ada goncangan dan kondisi hidup tidak
normal. Tapi goncangan itu bisa jadikan kesempatan untuk mengatur posisi yang tepat dan tahan sampai garis
finis.
No comments:
Post a Comment