Laga penting Arema menjamu Persebaya di Kanjuruhan, pada 21 February 2010 menghadirkan pengalaman baru bagi saya. 3 hari sebelum kick off dimulai, saya sudah memesan tiket pada salah satu agen resmi yang ditunjuk panitia penyeenggara pertandingan. Tapi itu belum jaminan untuk bisa duduk di tribun dengan nyaman. Ketentuan pada pemesanan tersebut adalah menukarkan tanda bukti bayar dengan tiket sebelum pukul 12.00 WIB. Namun berita buruk datang dari seorang teman yang saya minta tolong untuk menukar tiket bahwa tiket VIP dan VVIP dibatalkan oleh panpel PT. Arema Indonesia. Weits.. sejurus informasi tersebut mendorong saya untuk berburu tiket pada calo karena counter resmi tidak mungkin memiliki stok. Alhasil saya mendapat tiket yang sudah melambung hampir lima puluh persen dari harga resmi. Itupun setelah melakukan tawar menawar yang alot dengan beberapa calo.

Saya dan Jeyson datang di tribune VIP tiga jam sebelum pluit pertandingan ditiup, sehingga masih bisa memilih tempat duduk yang nyaman. Semakin lama penuh juga tribun ini. Tanya kanan kiri, depan belakang, ternyata mereka semua membeli dengan harga yang sudah melambung dari harga normal. Bisik saya daam hati, ”pasti akan lebih dari 1 M pendapatan panpel kali ini, mengulang sukses derby lawan Persema” Memang derby melawan Persebaya selalu mengundang penonton. Baik itu di Tambaksari-Surabaya, maupun Gajayana atau Kanjuruhan – Malang. Tidak peduli berapapun harga, tetap saja tribune dipenuhi penonton.

Saya tidak tidak mau terlalu ribet dalam berhitung, seperti pola perhitungan jasa telekomunikasi akhir-akhir ini. Jika saya menggunakan cara perhitungan yang paling gampang seperti yang biasa digunakan oeh pedagang bawang merah atau lombok di pasar, paling tidak setiap orang yang duduk di tribune VIP harus menghabiskan lebih dari 100,000-150,000 rupiah. Kecuali yang masuk dengan gratisan dan dibayari oleh pacarnya. Hehehe..... Paling tidak mereka harus membeli tiket seharga 100,000 dan membayar ongkos kendaraan, parkir dan makan minum untuk mengganjal perut. Kalau saya mengubah jumlah katakanlah yang paling besar pengeluarannya 150,000 rupiah dalam USD, pada saat saya menuliskan ini dengan perhitungan melalui oanda.com, maka akan mendapatkan USD 16.60. Jumlah tersebut jika berdasarkan standart hidup yang ditetapkan oleh UNDP sebesar USD 2 per hari tiap orang. Maka jumlah tersebut bisa digunakan hidup selama 8 hari oleh satu orang.

Dari segi penampilan, penonton di tribune VIP dan VVIP juga seperti kebanyakan pengunjung di pusat-pusat perbelanjaan pada umumnya. Tentengan perangkat komunikasi canggih dengan model qwerty pad baik itu smartphone dari berbagai merek, maupun BlackBerry yang sesungguhnya atau jadi-jadian bagi penonton bola bukan hal yang jarang ditemui. Baik saat sebelum pertandingan dimulai atau jeda, kesibukan penonton bukan hanya ngemil, tapi juga update status dalam situs jejaring sosial terkenal seperti Facebook atau Twitter. Lagi-lagi disini penyedia jaringan diuntungkan karena jasanya banyak diminati.
Kenyataan tersebut tidak mampu menghapus perilaku yang tidak sepadan dengan penampilan. Masih banyak juga yang mengucapkan makian dan ungkapan bernada rasis saat public enemy, yakni Persebaya masuk lapangan. Saya juga marah saat ada perlakuan kasar terhadap pemain Arema. Saya juga dongkol saat wasit tidak meniup peluit meski ada pelanggran. Tapi mulutmu harimaumu. Semoga pemandangan yang saya lihat bukan cerminan yang ada di luar stadion. Penampilan kelas tinggi, tapi kelakuan masih rasis.
Saya dan Jeyson datang di tribune VIP tiga jam sebelum pluit pertandingan ditiup, sehingga masih bisa memilih tempat duduk yang nyaman. Semakin lama penuh juga tribun ini. Tanya kanan kiri, depan belakang, ternyata mereka semua membeli dengan harga yang sudah melambung dari harga normal. Bisik saya daam hati, ”pasti akan lebih dari 1 M pendapatan panpel kali ini, mengulang sukses derby lawan Persema” Memang derby melawan Persebaya selalu mengundang penonton. Baik itu di Tambaksari-Surabaya, maupun Gajayana atau Kanjuruhan – Malang. Tidak peduli berapapun harga, tetap saja tribune dipenuhi penonton.
Saya tidak tidak mau terlalu ribet dalam berhitung, seperti pola perhitungan jasa telekomunikasi akhir-akhir ini. Jika saya menggunakan cara perhitungan yang paling gampang seperti yang biasa digunakan oeh pedagang bawang merah atau lombok di pasar, paling tidak setiap orang yang duduk di tribune VIP harus menghabiskan lebih dari 100,000-150,000 rupiah. Kecuali yang masuk dengan gratisan dan dibayari oleh pacarnya. Hehehe..... Paling tidak mereka harus membeli tiket seharga 100,000 dan membayar ongkos kendaraan, parkir dan makan minum untuk mengganjal perut. Kalau saya mengubah jumlah katakanlah yang paling besar pengeluarannya 150,000 rupiah dalam USD, pada saat saya menuliskan ini dengan perhitungan melalui oanda.com, maka akan mendapatkan USD 16.60. Jumlah tersebut jika berdasarkan standart hidup yang ditetapkan oleh UNDP sebesar USD 2 per hari tiap orang. Maka jumlah tersebut bisa digunakan hidup selama 8 hari oleh satu orang.
Dari segi penampilan, penonton di tribune VIP dan VVIP juga seperti kebanyakan pengunjung di pusat-pusat perbelanjaan pada umumnya. Tentengan perangkat komunikasi canggih dengan model qwerty pad baik itu smartphone dari berbagai merek, maupun BlackBerry yang sesungguhnya atau jadi-jadian bagi penonton bola bukan hal yang jarang ditemui. Baik saat sebelum pertandingan dimulai atau jeda, kesibukan penonton bukan hanya ngemil, tapi juga update status dalam situs jejaring sosial terkenal seperti Facebook atau Twitter. Lagi-lagi disini penyedia jaringan diuntungkan karena jasanya banyak diminati.
Kenyataan tersebut tidak mampu menghapus perilaku yang tidak sepadan dengan penampilan. Masih banyak juga yang mengucapkan makian dan ungkapan bernada rasis saat public enemy, yakni Persebaya masuk lapangan. Saya juga marah saat ada perlakuan kasar terhadap pemain Arema. Saya juga dongkol saat wasit tidak meniup peluit meski ada pelanggran. Tapi mulutmu harimaumu. Semoga pemandangan yang saya lihat bukan cerminan yang ada di luar stadion. Penampilan kelas tinggi, tapi kelakuan masih rasis.
No comments:
Post a Comment