Waktu terus berjalan dan meningggalkan bayangan dibelakang
kita. Berapa jauh perjalanan hidupmu, sejauh itu juga bayangan melekat. Ada
yang berusaha keras menghapus bayangan seperti kata mbak Momo, ‘lumpuhkan
ingatanku’ atau sebaliknya berusaha memanggil semua bayangan ingatan masa lalu.
Ada juga yang berusaha keras menghadirkan bayangan masa lalu dalam konteks kekinian.
Masa lalu bagi sebagian orang menjadi penting untuk melangkah ke masa depan.
Manis dan getir masa lalu jadi pembelajaran di mana depan. Jika masa lalu itu berat, segera bebaskan langkah
untuk melepas beban masa lalu.
Untuk wujudkan itu, entah mengingat masa lalu atau hapus
banyak cara dilakukan. Salah satu cara mengingat masa lalu dengan mencicip
ulang apa yang pernah kita rasakan masa lalu. Mainan masa kecil, membuka kembali
album foto , membaca ulang tulisan di blog pribadi atau mencicip makanan kala
dulu.
![]() |
lapak bubur kampium |
Bagi perantau tentunya jajanan khas daerah asal akan
mengingatkan masa-masa lalu. Meski tidak ikut menjalankan ibadah puasa, saya
tertarik berbaur kerumunan manusia Ibu Kota yang tengah mempersiapkan diri buka
puasa di kawasan Kramat Raya. Ya, Kramat Raya tepat sebelah timur jembatan
layang Pasar Senen berderat warung Kapau. Pelayan warung nasi Kapau yang
menawarkan dan aroma gulai menjadi daya tarik untuk duduk dan mencicip. Aneka
menu khas Bukit Tinggi tertata di baskom-baskom ukuran besar. Saya tidak sempat
hitung berapa banyak jenis menu di satu warung nasi Kapau. Mungkin kalau Anda
tahu, minta tolong saya dikabari.
Hari ini saya tertarik mencoba salah satu menu yang diburu
pembeli sebagai menu buka puasa, yakni Bubur kampium. Bubur campur berisi ketan
hitam, bubur sumsum, biji salak yang mirip candil dilengkapi pisang kukus atau
mungkin dikolak. Masing-masing jenis dikemas terpisah-pisah, bahkan kuah kolak
yang terpisah menjamin masih dinikmati dengan utuh tiap isinya ketika tiba di
tempat. Maklum saya harus di kantor hingga larut. Macam-macam bubur tercampur
jadi satu ini mirip dengan bubur-bubur yang pernah saya nikmati di daerah asal
saya. Meski bukan asli Sumatra Barat dan tidak ikut berpuasa seperti saya juga
cukup patut membungkus seporsi bubur kampium karena mirip bentuk dan rasanya
sebagai pelepas rindu. Rindu itu mungkin disebabkan ada hal-hal yang melekat
dalam diri saya, yakni Surabaya dan isinya. Mudah mencari padanan makanan
Surabaya sekadar pelepas rindu di Jakarta ini. Tapi ada hal-hal melekat lain
yang susah untuk dilepaskan. Mungkin bubur kampium yang mirip dengan
bubur-bubur yang mudah didapti di pasar Bratang ini hal sepele. Tapi ini cukup
memanggil ingatan saya kala itu. Ingatan pada petuah dan pembelajaran itu
menempa dan menjadikan adanya kini.
Hari-hari terakhir ini saya sering bolak-balik ke Jakarta – Surabaya.
Tapi masih tetap ingin ke Surabaya segera. Atau ini sebagai pertanda saya harus
segera menetap di Surabaya dengan segala konsekuensi. Konsekuansi dengan
hal-hal baru. Konsekuensi bertemu orang-orang lama dengan segala dimensinya.
Konsekuensi dengan posisi pekerjaan yang baru. Apakah setelah di Surabaya nanti
saya akan merindukan bayangan yang ada di belakang? Saya menyerahkan kepada pemilik
waktu. Semua akan dijawab di sana. Semoga
ini bukan sekadar pulang tapi hasil dari memikirkan untuk semua yang benar, semua yang mulia, semua yang
suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan
dan patut dipuji.
So maybe tomorrow
I'll find my way home
-
Stereophonics